Si bodoh masih
mengingat dengan amat jelas saat dia dan kamu terakhir berjumpa. Pada 4 Juli
2011, berseragam ptuih-abuabu, di sekolah. Waktu itu, ketika bersama, sekali
lagi, bersama, bukan berdua. Kerja ‘part-time’, yah, kira-kira begitulah. Hm,
si bodoh tentu tak dapat menceritakan semua secara amat gamblang di media ini.
Tak seperti halnya jika si bodoh menceritakan kisahnya memakan beberapa buah
roti keju kesukaannya, ia akan lebih leluasa dan bebas merangkai kata. Uhm,
cukup lah hanya si bodoh dan kamu yang tahu. Ah, itupun jika kamu masih ingat.
Hari demi hari berlalu,
kamu tahu? Ah, kamu pasti taktahu entah telah berapa hari tak saling jumpa
sejak hari itu? Ah, tentu, itu wajar, bukan? Iya, wajar untukmu, dan wajar pula
untuk si bodoh. Mengapa? Tentu saja, karena si bodoh dan kamu diresapi perasaan
yang berbeda. Seperti roti keju dan roti cokelat, tidak sama, bukan? Tidak
sama, itu berbeda. Beda.
Untuk
sekedar kamu tahu, ini adalah hari yang ke-530. Si bodoh hanya menghitung
hingga 100 hari untukmu. Ia tak cukup berdaya untuk terus dan terus melakukan
penghitungan bodoh yang bahkan tak akan membuatnya tampak lebih pintar walau
hanya sedikit, ia tak cukup pintar menghitung untukmu. Si bodoh tak tahu (lagi
dan lagi) mengapa ia masih saja dengan bermodalkan kebodohannya terus
menghitung, kali ini, hitungannya, hanya untuknya, untuk diri bodohnya sendiri.
Si bodoh tiba-tiba
terbayang dia yang terus memakan roti-roti keju, donat demi donat keju, dan
beberapa potong kue keju. Itu asin, asin sekali, tentu, sebanyak itu. Tapi, si
bodoh tetap memakannnya, mengapa? Karena dia suka, dia suka keju, dia suka
sekali pada keju. Lalu, bagaimana dengan hitungan bodohnya itu? Mengapa?
Mengapa dia tetap melakukan penghitungan bodoh? Kemudian, si bodoh menjadi
semakin sadar, bahwa nyatanya ia memang lah benar-benar bodoh, ia selalu tak
tahu, ia bahkan tak mengerti mengapa ia melakukan itu, si bodoh ini bahkan tak
memahami dirinya sendiri, bodohya si bodoh.
Ah, bahkan, sekarang
ketidaktahuan akibat kebodohannya ini membuat si bodoh semakin akut, ia mulai
tampak aneh, sangat aneh, terlalu aneh, bahkan untuk kamu sekedar ladeni.
Benar, si bodoh yang tak hanya bodoh, si bodoh yang juga terlalu aneh, benar,
benar sekali. Betapa bodohnya si bodoh, tak jera melakukan hal-hal bodoh yang
membuatnya terlihat kian bodoh dalam dunia bodohnya yang bodoh. Aneh pula.
Uhm, apa lagi ya. Ah!
Kamu tak pernah bersedia menjawab pertanyaan si bodoh dengan sungguh. Hingga
kini, si bodoh bahkan tak tahu mana yang jujur dan mana yang sekedar asal
jawab, serta mana yang gurauan belaka. Seperti si bodoh yang tak tahu, roti
ini, roti itu, dari keju jenis apa dan darimana asalnya. Saking bodohnya si
bodoh, ia tak tahu bagaimana membedakannya. Semua terasa sama bagi si bodoh.
Ah, tuh kan! Si bodoh lagi, lagi, dan lagi, selalu tak tahu. Dasar, bodoh.
Si bodoh melakukan
penghitungan hingga 100, dulu. Si bodoh tak tahu mengapa ia melakukannya, dan
ia tak kunjung jera. Satu yang terlintas di otak labil si bodoh, semoga ia
mampu menjaga rasa ini, sembari menunggu kamu hingga 1000 ( SERIBU ) hari tiba,
ia bahkan tak sadar bahwa itu bukan lah rentang waktu yang singkat. Si bodoh
juga bahkan tak tahu mengapa ia begitu ingin bertahan lebih dan lebih lama dari
kamu, dari kamu yang bertahan dengan dia yang kamu suka, dan entah masih suka.
Ah, si bodoh tak mau memikirnya, otak nya sudah cukup bodoh, ia tak tahu, tak
tahu, ia tak mau tahu, si bodoh menggeleng. Ah!
Namun, sungguh, si
bodoh benar-benar tak mau kalah dari kamu. Si bodoh itu walau bodoh dan tak punya
sesuatu yang membuatnya tak akan tampak bodoh, tapi, apa kamu sadar? Ah,
sepertinya kamu tak akan menyadari apapun. Si bodoh itu keras kepala walau isi
kepalanya hanyalah ide-ide bodoh, tidak takut sakit karena sakit adalah teman
bermainnya, tidak pernah lelah untuk tetap tersenyum dan tertawa karena mereka
adalah gurunya, guru yang ajarkan si bodoh untuk belajar berdiri, berjalan,
bahkan berlari, menuju kamu, dan juga, si bodoh itu terlalu gengsi untuk kalah
dari mu. Si bodoh tentu tak terima, tidak mau.
Entah mengapa, ah,
mengapa si bodoh selalu menanyakan mengapa? Ah, dia ini memang bodoh ya, bahkan
aneh. Setelah hari ke-100 pun terlewati, si bodoh telah bertekad untuk berbalik
arah, menentang takdir, dan pergi menjauh, atau bahkan ia tak keberatan untuk
menghilang. Sungguh, si bodoh benar-benar berusaha kala itu, walau pada
akhirnya, dia kembali ke rutinitas bodohnya dengan segera, apa itu? Yaitu,
menuju kamu.
Oleh karena si bodoh
terlalu lemah untuk melenyapkan diri bodohnya, sehingga kembali terlintas ide
bodoh di otak bodohnya. Si bodoh berharap, kali ini, setidaknya ia mampu
melenyapkan kamu dari tiap celah di otak ataupun ruang hatinya. Si bodoh
benar-benar berusaha, walau kamu tak percaya. Itu tak mudah. Si bodoh selalu
terjatuh, mengapa? Karena sejatinya, ia bahkan belum sanggup untuk berdiri
sendiri, ia selalu sendiri, sendiri dalam perjalanan bodohnya menuju kamu.
Lalu, ketika ia telah
mampu untuk berdiri, ia pun mencoba melangkah sedikit demi sedikit, dan ia
kembali terjatuh, mengapa? Karena, ternyata ia belum mampu melangkah, ia butuh
seseorang untuk memapahnya, namun sayangnya ia hanya sendiri. Si bodoh tak
menyerah, ia berusaha lebih kuat, akhirnya ia bisa berjalan. Tak lama, ia pun
terjatuh lagi. Ah, rasanya sakit.
Si bodoh tak jarang
merasa seperti begitu banyak buku tebal yang di tumpuk di dada nya, rasanya
sesak sekali,di tambah pula, saat air mata bahkan bahkan enggan mengalah
padanya. Walau dia adalah seorang yang amat sangat dan terlalu bodoh, namun,
dia juga manusia, bukan? Manusia terjahat di dunia pun boleh menangis, tapi,
mengapa bulir air mata si bodoh tak kunjung meleleh di pipinya? Air mata yang
sok jual mahal itu dengan angkuhnya lebih memilih untuk membeku di dalam hati
sepi si bodoh. Ah, sungguh, yang ia rasa, hanya sakit.
Si bodoh mulai
merasakan hatinya seperti sebuah roti keju yang terjatuh di aspal, saat terik
siang begitu menyengat, roti keju yang di sukainya itu mengering,
berkerut, berdebu, tak ada yang menginginkannya, tercampak. Yah, kurang lebih
seperti itu.
Namun, karena
kebodohannya, si bodoh kembali bangkit. Ia masih berusaha, sendiri, dan
akhirnya ia telah mampu berlari. Ia berlari, dan terus berlari, entah kemana.
Lalu, apa kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya? Si bodoh terjatuh lagi dan
lagi, mengapa? Kali ini bukan karena dia yang lemah. Namun, karena, kamu, kamu
yang mendorongnya, hingga jatuh, tersungkur. Itu ulahmu, kamu.
Kamu, yang jahat
sekali, oh tidak, kamu sesungguhnya tak pernah jahat pada si bodoh, sungguh. Si
bodoh tak cukup bodoh untuk percaya bahwa tentu kamu tak sengaja mendorongnya,
hingga ia terjatuh, tidak, ia terjerembab, tersungkur. Si bodoh mengeluh sakit,
pada dirinya. Mengapa? Karena si bodoh hanya sendiri. Apa kamu tahu hal itu?
Apa kamu ingat apa yang membuat si bodoh terjerembab?
Ini, hanya satu kata
ini, satu kata paling jahat yang si bodoh temui sepanjang perjalanan bodohnya
menuju kamu, satu kata yang sejatinya begitu ingin ia dengar mengalun dari
kamu, tapi tidak seperti ini, tidak dengan rasa yang kamu miliki kala itu,
sungguh, jika seperti itu, si bodoh benar tak mau, dia benci mendengarnya,
sangat, itu membuatnya merasa sangat, sangat, dan sangat bodoh terjatuh dalam
jurang bodohnya yang memberi luka, ia sungguh tampak bodoh sekali.
Ini, kata ini, hanya satu kata ini, “ Saranghae “. Pada hari ke-94, Kamis, 06 Oktober 2011, pukul 22:06 WIB, via Texting ( SMS ). Ah, kamu pasti tak ingat, tak peduli, benar kan? Tidak apa-apa, si bodoh tak apa-apa, sungguh, mengapa? Karena ia sudah terlanjur terbiasa untuk tetap menjadi tidak apa-apa.
Ini, kata ini, hanya satu kata ini, “ Saranghae “. Pada hari ke-94, Kamis, 06 Oktober 2011, pukul 22:06 WIB, via Texting ( SMS ). Ah, kamu pasti tak ingat, tak peduli, benar kan? Tidak apa-apa, si bodoh tak apa-apa, sungguh, mengapa? Karena ia sudah terlanjur terbiasa untuk tetap menjadi tidak apa-apa.
Walau telah tersungkur
begitu kasar, di dorong oleh kamu, namun berkat kebodohannya, ia masih tak
sanggup untuk men-DELETE kamu dari file di folder hari si bodoh. Begitu banyak
memori tentang kamu yang tersimpan dalam sebuah folder ukuran besar berlokasi
di tempat penyimpanan spesial di hardisk hati si bodoh. Kamu bukan virus kan?
Virus yang dengan sangat menjengkelkannya menjangkiti otak si bodoh? Dan, entah
karena alasan apa, kamu tak henti berkunjung tanpa si bodoh undang, mulai dari
Senin, Selasa, Rabu, kamis, Jumat, Sabtu, dan tak terlupa, Minggu. Selama
24 jam setiap harinya. Mengapa kamu begitu usil mengacaukan tatanan otak dan
hati si bodoh itu, yang sejak awal memang telah ERROR? Kamu, kamu seperti
bakteri, bakteri yang mungkin bersembunyi dibalik kelezatan roti keju kesukaan
si bodoh. Ah, si bodoh tak tahu lagi.
Sehingga, si
bodoh terus menjejalkan gagasan demi gagasan bodoh di otaknya untuk menemukan
metode efektif mengusir kamu agar tak lagi datang. Sementara si bodoh
memikirnya, jusru semakin banyak untaian kata-kata bodoh yang tergantung di
otaknya yang kian bodoh, dan ia bahkan salut padamu. Mengapa kamu selalu bisa
menjelma menjadi apa saja? Ketika si bodoh hendak tidur, ia masih melihat wajah
kamu, di bantal merah muda bermotif Hello Kity-nya. Ketika dia nyaris menutup
mata untuk terlelap, kamu masih disana, di dinding biru muda kamarnya. Ketika
si bodoh sedang ujian, wajah menyebalkanmu tapi dia rindu itu, muncul tiba-tiba
di lembar soal ujiannya. Ketika si bodoh menatap sepiring nasi goreng di
sarapan paginya, kamu pun hadir disana, dengan ekspresi mengesalkan mu yang
justru sangat dirindukan si bodoh. Dimana saja, kamu tak jera muncul di dinding
kamar si bodoh, di permukaan susu cokelat favorit si bodoh, di nasi goreng si
bodoh, bahkan di tutup toples keripik pisang kesukaan si bodoh saat ia hendak
membukanya. Kamu, dengan ulah tak jelas mu itu, mengikuti si bodoh kemana-mana.
Bahkan, suatu ketika di
hari Jumat, seusai shalat Dzuhur di Masjid universitas, saat ia dan seorang
temannya melangkah menuju lokal untuk kuliah siang, ia, si bodoh itu,
melihat kamu, oh bukan, bukan kamu, melainkan seseorang yang mirip
sekali postur tubuh bagian belakangnya dengan kamu. Jantung si bodoh berdegup
dengan bunyi yang kurang lebih seperti ini kala itu,
dag-dig-dug-dug-dig-dag-dug-dig-dig-dag-dug-dig-dag-dag-dig-dig-dig. Tempo yang
kian cepat, dan ah! Ternyata itu memang bukan kamu, walau hanya tampak dari
kejauhan, tapi si bodoh tetap merasa sangat lega karena itu memang bukan lah
kamu, leganya. Haha.
Kapan saja, pagi saat
si bodoh terjaga dari tidur lelahnya hingga malam ketika si bodoh hendak
terlelap melepas harinya yang melelahkan. Kamu tahu? Ah, mengapa si bodoh
selalu menanyakan ini. Padahal jelas-jelas kamu tak akan tahu. Kamu tak
pernah tahu, atau tak pernah mau tahu? Ah, si bodoh pun tak mau tahu, ia selalu
tak tahu, bodoh. Si bodoh, si bodoh ini bukan nya malah berhenti menyukai kamu
saat mendengar kisah kamu dahulu dengan dia yang kamu suka. Si bodoh itu justru
semakin salut pada kamu, pada rasa suka milik mu, kepada dia, orang yang entah
masih kamu suka, atau tak lagi suka. Entahlah, si bodoh tak tahu, si bodoh
selalu tak tahu, bodohnya si bodoh ini.
Setiap hari si bodoh
hanya melakukan hal-hal bodoh, tentu, karena ia bodoh.
Setiap hari si bodoh
selalu ingin makan keju, tentu, karena ia suka keju.
Si bodoh tahu yang
dilakukannya adalah hal bodoh, tapi, karena ia bodoh, ia tetap melakukan hal
demi hal bodoh.
Si bodoh tahu keju itu
asin, apalagi dimakan dalam kuantitas yang banyak, tapi, karena ia suka, ia
tetap memakannya, keju demi keju.
Betapa bodohnya si
bodoh.
Bodoh. Bodoh.
By: Rahmadila Eka Putri ( @ladilacious )
( blog : Bacotan si dilacious )