Perlahan namun pasti sekujur tubuh ini basah disirami tetesan air langit.
Pipiku juga basah. Bukan karena hujan yang sedari tadi mengguyur bumi.
Melainkan dari linangan air yang jatuh dari sudut mataku.
Penglihatanku mulai kabur sebab kacamata ini sudah berembun.
Entah berembun karena air hujan, ataukah berembun karena air mata.
Beban. Apa yang sebenarnya menjadi bebanku selama ini?
Aku sendiri masih enggan menunjuk satu titik dan menyebutnya “inilah bebanku”.
Aku masih tak mengerti apa yang kurasa.
Perasaanku terlalu berantakan saat ini. Absurd, kacau.
Di saat seperti ini aku hanya bisa menangis.
Cengeng memang, tapi itulah aku.
Saat ini aku sedang letih, aku letih berpura-pura.
Kalian hanya tahu aku tidak apa-apa.
Aku baik-baik saja, itu yang kalian lihat bukan?
Kalian tak pernah tahu, batinku sedang menangis pilu.
Aku lelah terus tersenyum, mentolerir sikap semena-mena kalian padaku.
Mungkin saat ini aku terlalu sensitif hadapi dunia.
Aku perlu waktu tuk biasakan diri ini merasakah pahitnya kehidupan.
Padahal aku bukanlah anak kemarin sore,
tapi masih saja aku lemah saat dihantam kerasnya hidup.
“Bangunlah! Jangan tertunduk lesu! Ada banyak hal yang belum kau rasa. Jangan lemah begitu, tak ada gunanya kau menangis sesegukkan. Itu sia-sia. Kau tahu, sia-sia”.
Aku selalu mencoba kuatkan hatiku, tapi rupanya mantera yang slalu kusebut di depan cermin itu tak berhasil meningkatkan semangatku yang sedang turun.
Aku masih saja stuck pada kondisi hati yang rapuh.
By: @erinades_