Stasiun
Rawabuntu, 20.30
“Kamu
udah beli tiketnya?” tanyanya seraya menghampiriku dan duduk tepat di sampingku.
Tangan kanannya menyorongkan sebotol minuman ke arahku.
“Udah,
kereta terakhir kayak biasanya.” Jawabku sambil menerima botol minumnya. Aku
tak lantas meminum isi dari minuman berperisa teh tersebut. Aku justru
memainkannya di tanganku. “Besok kamu jadi?”
Dia
menyunggingkan senyum, “Kamu tau sendiri, Chik, aku udah pegang tiketnya. Gak
mungkin diundur lagi.” Ia menghela nafas, “Lagian…” kata-katanya terhenti. Aku
menanti sambil memandangi wajah putihnya yang kini terlihat kecoklatan.
“Lagian?”
desakku.
Jemarinya
menarik jari-jari kurusku, digenggamnya erat. “Semakin ditunda, aku semakin gak
ingin pergi. Kamu tahu sendiri, aku harus pulang.”
Hening
menyelimuti kami. Udara malam yang mengeluarkan aroma tanah sehabis hujan semakin
menyesakkan rasa kami yang tak singkron pada nyata. Jemari kami semakin kuat
bertaut, mengisyaratkan rasa yang tak mudah diungkap kata.
“Kamu
harus balik ke sini lagi. Aku tunggu…” mulaiku dengan suara bergetar.
Cowok
disampingku menoleh. Tangannya memegang daguku lalu mengarahkannya hingga kami
saling menatap.
“Chika,
tapi aku gak tahu kapan bisa balik ke sini lagi. Malah mungkin enggak balik. Kamu
pahamkan kalo aku harus terusin bisnis Papaku di Sintang?”
Aku
menggigit bibir bawahku kencang. Berliter-liter air yang terproduksi di belakang
bola mataku mendesak ingin keluar. Aku mati-matian menahannya. Sungguh, aku tak
ingin menangis di hadapan dia…
“Sempetin
Dion…” pintaku. “Atau kalo emang kamu gak bisa, tolong bilang sama aku sekarang
bahwa aku harus berhenti seperti ini ke kamu. Supaya aku menghentikan semua
kegilaanku sama kamu. Tolong Di… aku butuh itu untuk ngebenci kamu…”
Dion
merangkul bahuku, “Sungguh, saat ini yang aku mau hanya bersama kamu, Chik. Gak
tau sampe kapan…” dikecupnya keningku.
“Pengumuman,
kereta api commuter line tujuan akhir tanah abang akan segera tiba di Peron
satu.”
“Ini
kereta yang mau kamu naikin, Chik?” tanya Dion. Tangannya membebaskan bahuku
dari rangkulannya.
“Iya.”
Aku menarik lagi tangan Dion. Menggenggamnya dan mengamatinya, mungkin untuk
yang terakhir kali.
Tangan
kanan Dion yang bebas mengacak-acak rambutku. “Besok kalo harus nunggu kereta
sendirian, kamu gak usah kangen aku ya…” pesannya sambil menyunggingkan senyum.
“Well,
aku gak bakal kangen. Paling mataku iseng noleh kesamping terus.” Jawabku
nyengir.
Dion
terkekeh dan mendorong kepalaku lembut. “Dasar sakit jiwa.” Ledeknya.
Tak
berapa lama kemudian dari kejauhan tampak lampu kereta commuter line
menyoroti tempatku dan Dion duduk. disusul
dengan pengumuman jika kereta tujuan akhir Stasiun Tanah Abang sudah datang.
“This
is the time… I have to go home.” Lirihku menatap Dion.
Dia
memegangi tanganku, “Hati-hati, ya. Sms aku kalo udah sampe.” Pesannya.
Kuarahkan
tangan Dion ke dahiku. Kebiasaanku ketika akan berpisah dengannya. Kemudian
berlari ke dalam kereta yang tak terlalu penuh oleh penumpang. Pintu otomatis
kereta mulai menutup dan kaleng mahal ini perlahan melaju meninggalkan stasiun
Rawabuntu. Mataku masih bersitatap dengan mata sayu Dion hingga kemudian sosok
yang kusayangi itu berbalik dan menyisakan punggungnya untuk mataku. Aku masih
terus memandangi tempat Dion berdiri hingga tak bisa kulihat lagi.
Kereta
melaju semakin cepat, membawaku menjauh dari Dion. Kupejamkan mata, memohon
dalam hati pada Tuhan supaya akan ada lagi masa dimana aku bisa menemukan
senyum dan lambaian tangan Dion di luar kereta.