Sama seperti
sore yang lalu, aku berdiri di balik pagar besi yang hampir rapuh penuh karat.
Membuka pintunya, menoleh ke kanan, menoleh ke kiri, lalu menutupnya lagi.
Seperti itu 10 menit dalam hidupku berlalu hari ini. Menunggumu pulang adalah saat
yang paling mendebarkan dalam hidupku. Lebih mendebarkan dari saat pengumuman
hasil ujian nasionalku. Kamu tahu, rasanya seperti ada kupu-kupu yang menari di
perutku.
Kamu
terlambat sore ini. Senja sudah hampir habis dan kamu belum juga menampakkan batang
hidungmu. Aku khawatir. Apakah terjadi sesuatu yang buruk padamu? Kuharap
tidak. Karena jika hal itu terjadi, aku tidak tahu bagaimana aku harus
menghabiskan soreku.
Itu kamu. Dengan
kemeja yang penuh kusut berwarna biru, warna kesukaanku, kamu berjalan lesu.
Kamu terlalu lelah untuk berlari ke arahku, tumpukan kertas di meja kantormu
sudah merenggut lebih dari setengah tenagamu. Kamu terus berjalan hingga sampai
di depan pagar dan berhenti untuk menghela napas panjang. Aku bisa mendengarnya
dari balik pagar.
10… 9… 8… 7… 6… 5… 4… 3… 2… 1.
Kamu
berjalan lagi, pulang menuju rumahmu setelah puas menghela napas dan memandangi
raja langit yang hampir tenggelam. Sepuluh detik. Cukup untuk memandangi
punggungmu dari celah lubang pagar besiku. Mengagumi ukir jelas wajahmu yang
terpapar matahari senja. Menambah rasa cintaku kepadamu yang tak pernah tahu
ada aku yang diam-diam mengamatimu.
Entah sampai
kapan aku bisa bertahan dengan hanya 10 detik.