Lara dan pagi kelabu.
Semilir angin menderu,
di sebuah lokal lantai 4 gedung ungu, mengambil tempat di pojok kanan depan
pintu, menanti dosen yang minta ditunggu, menatap jauh ke luar jendela sembari
bertopang dagu, membisu, menghela napas dengan lesu, mata terpaku
pada langit kelabu, merasuk rindu dalam kalbu, seruan sendu kepada kamu, kamu
di masa lalu, ketika masih saling bertemu, terkenang akan mimik wajahmu, getar
vokalmu, jemari meliuk lincah membentuk guratan-guratan artistik bermutu, di sketsa
biru itu, mungkin kah itu dilukis untuk dihadiahkan kepada si penunggu kamu,
atau orang itu, yang sama sekali tak menunggu hadirmu, ah, ini kah sebongkah
lara dan pagi kelabu, yang menyatu menjadi satu, menghasut rindu, menjadi kian
menggebu, bergemuruh sendu dalam kalbu, ketika bibir hanya bisa terkatup membisu, dan badan kaku membatu, sebab gugup yang tak menentu, ketika menemukan kamu, di suatu waktu.
Lara dan pagi kelabu.
Lara dan pagi kelabu.
Ketukan-ketukan kecil
di lantai oleh ujung kuku, bolak-balik buku, seharga dua puluh delapan
ribu, duduk-duduk di pinggir jendela berdebu, teman-teman yang melucu, dan
sesekali mengganggu, tapi terasa seru, hingga jenuh pun mulai menyerbu,
lantaran yang ditunggu tak jua muncul di depan pintu, lalu datang sebuah kabar
dari ketua kelas dengan napas yang memburu, setelah mendaki lantai 4 gedung
ungu yang tinggi menjulang itu, sebab rusaknya lift yang seharusnya sangat membantu,
sebuah kabar tentang dosen tak datang tentu, sorak sorai layaknya anak SD yang
lugu, tapi tunggu dulu, ada satu hal yang tak berubah sejak 1 jam lalu,
yaitu, ah, ini kah sebongkah lara dan pagi kelabu, yang menyatu menjadi
satu, menghasut rindu, menjadi kian menggebu, bergemuruh sendu dalam kalbu, ketika bibir hanya bisa terkatup membisu, dan badan kaku membatu, sebab gugup yang tak menentu, ketika menemukan kamu, di suatu waktu.
Lara dan pagi kelabu.
Menapak di sepanjang
jalan pulang ke rumah di bawah langit kelabu, awan-awan sendu, langit yang
entah kapan kan kembali membiru, dengan gerombolan awan putih saling beradu, tak
lagi penuh haru, berulang kali menghembuskan napas rindu, ingin bertemu,
kamu, sungguh tak tahu, mengapa bisa sampai seperti itu, tiba dirumah
dan membuka pintu, duduk di lantai yang baru disapu, menonton televisi yang menayangkan acara terbaru, melirik jam dinding biru, pukul sembilan lewat 15
menit kala itu, berencana hendak mencuci baju, hendak pudarkan rindu dengan
cara sibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan yang menunggu, tapi sialnya taktik
itu tak jitu, gagal dan gagal melulu, rindu masih saja menyesak mengisi ruang
kalbu, yang terus menyeru nama kamu, selalu seperti itu, ah, ini kah
sebongkah lara dan pagi kelabu, yang menyatu menjadi satu, menghasut rindu,
menjadi kian menggebu, bergemuruh dalam kalbu, ketika bibir hanya bisa terkatup membisu, dan badan kaku membatu, sebab gugup yang tak menentu, ketika menemukan kamu, di suatu waktu.
Lara dan pagi kelabu.
SELESAI.
( By: @ladilacious )