Tatapanku tak pernah berhenti menatap keluar jendela, berharap diriku mampu menjelajahi seluruh dunia. Mencari kepingan hidupku yang pergi, mencari cintaku yang menghilang dari pelukanku. Dulunya aku terlalu mencintai hidupku, sampai rasanya aku tak ingin mati. aku ingin hidup kekal didunia ini. Namun, semuanya berubah. Yang kuinginkan saat ini menenggelamkan tubuhku pada dasar paling dalam perut bumi.
Bulir mataku tak pernah berhenti menetes, sedetikpun tidak. Apa yang selama ini menjadi bahagiaku kini menjadi busur beracun yang mematikan bagi relungku. Seluruh tubuhku menuntut untuk meronta-ronta, menghancurkan apa yang ada disampingku. Hatiku menjadi sangat berat dan membuatku semakin sesak dan sulit tuk bernafas. Dunia telah menunjukkan sisi gelapnya dimataku.
Pandanganku beralih pada jemariku yang kosong. Menjalari rokku yang kusam dan lusuh akibat terseret-seret dilantai saatku tertunduk menangis. Jemariku menyambar lenganku yang juga kosong tak berisi apa-apa. Kulihat bayangku dibalik biasan pantulan kaca jendela. Mata yang lusuh akibat tangis, Hidung yang merah dan dahi yang berkerut marah. Sungguh rasanya aku ingin menghancurkan dunia dengan tanganku sendiri. Melakukan hal yang sama seperti dunia ini lakukan kepadaku.
Kuayunkan kaki melangkah menuju tempat peristirahatanku. Menuju ruang yang akrab disapa kamar. Mataku menyapu bersih ruangan. Semakin dekat langkahku semakin berat, tarikan nafasku semakin dalam, kepalaku semakin terbayang-bayang. Aroma yang sangat khas tercium begitu kulewati pintu kamar. Tangisku semakin menjadi. Aku tak sejenakpun memikirkan wajahku yang jauh dari pantas tuk dikatakan cantik saat ini. Aku tak memerdulikan apapun saat ini. Semuanya terlalu menyedihkan untuk membuatku peduli akan diriku sendiri. Sehelai kain berwarna biru langit berukuran satu kali setengah meter membuat tangisku semakin menjadi. Pandangankupun buyar, kosong dan mengelabu.
Semua orang disekitarku memohon agarku puaskan rasa laparku. Tapi hatiku terlalu risau untuk memikirkan perutku. Suamiku masih terduduk diam disamping ranjang. Ku tahu dia berusaha terlihat tegar dibalik kerapuhannya. Air mataku kembali membanjir.
Tak pernah sekalipun kubayangkan bayi yang baru kupeluk selama dua minggu kini hilang, lenyap dan musnah dari pandanganku.
Bayi yang kukandung selama delapan bulan 14 hari. Bayi laki-laki yang selalu kuidam-idamkan sejak tiga tahun pernikahanku. Kini dirinya hanyalah tinggal cerita.
Yah, Bayi mungilku meninggal setelah terserang demam tinggi selama tiga hari.
Sejak saat itu, hingga hari ini.
Aku lupa caranya bahagia.