03 September 2013

SOULMATE!

Soulmate
Teeeeeeettttttttttt!!!”,bel pulang sekolah pun telah berdering. Seperti yang telah kutunggu sejak tadi, tanpa membuang waktu lagi, ku kaitkan tas selempanganku dan berlari ke luar pintu kelas. Aku memang sengaja meninggalkan Ditya dan Reyna, kedua sahabat akrabku. Sengaja. Merekalah sahabat terbaikku, percaya atau tidak, kami bersahabat sudah sangaat lama! Seumur hidupku aku mengenal mereka bahkan ketika usiaku masih menginjak 3 tahun. Masa itu aku dan keluargaku, yang hanya terdiri dari aku, papah, dan mamah, kami pindah dari New Zaeland Sejak kami  pindah ke sini -Kemang-Jakarta-, yang aku kenal hanyalah mereka sahabatku, Reyna dan Ditya. Namun syukurnya, kedua sahabatku itulah yang sangat mengerti aku. Dari sekian banyak orang disekelilingku, termasuk juga dengan keluargaku, hanya merekalah yang memahami serta mengetahui karakter dan kepribadianku. Meski pun mereka sendiri juga adalah berasal dari keluarga yang sama denganku, namun syukurnya di tengah kehidupan yang menjenuhkan ini, Tuhan masih mau memberikan dua sahabat setia untukku.
            “Nah, tu dia!”, teriak Reyna. “Luna...!”, panggilnya dari kejauhan.
Aku yang melihat dari arah berlawanan pun terdiam. Mencoba berfikir keras, apa yang harus aku lakukan. Jantungku berdegup kencang, begitu keras untuk ukuran sebuah detakan jantung. Jujur, aku merasa bersalah.. entah apalagi yang dapat aku lakukan. Sepanjang jam pelajaran tadi, hatiku terus gelisah, tidak mungkin aku berhenti memikirkannya. Harus ada yang aku lakukan, aku tidak mungkin diam, aku harus bicara dengannya. Aku sakit karena telah melakukan kesalahan, kesalahan terbesar yang sesungguhnya tidak pernah aku ketahui. Aku tidak sedikit pun menyadarinya, oh betapa bodohnya aku! Dan yang paling mermbuatku merasa lebih tersakiti lagi adalah, jika membayangkan sehabatku Reyna, mengetahui semua ini. Aku akan jauh lebih rapuh lagi, jika seandainya ia merasa begitu tersakiti hanya dikarenakan kebodohanku ini! sungguh parahnya aku, maafkan aku Reyna... maafkan aku saudaraku sayangg... maaf, maafkan. Dan kini aku harus beranjak pergi, secepat mungkin. Lebih cepat, lebih baik, ayo semangat Luna. Aku pun langsung memalingkan wajah, berlari dari hadapan mereka. Sangat kuyakini, pasti, mereka aneh melihat sikapku. Lantas aku harus bagaimana? Harus berkata apa? Aku tidak ingin mereka berdua, terutama Reyna tahu bahwa hendak kemana aku ingin pergi untuk menemui seseorang. Dan ditambah lagi Ditya, dia pasti semakin curiga melihat tingkah lakuku. Sejak tadi Ditya menatapku tenang. Itulah memang selalu gayanya. Ia selalu tenang dalam kondisi apa pun, meski sepanik apa pun itu situasinya. Dan diantara kami bertiga, dialah yang paling sering menenangi kala aku dan Reyna saling berselisih. Aku sadar, dan yakin sekali bahwa dibalik caranya yang tenang, Ditya pasti mengetahui  jalan fikiranku, itulah yang selalu terjadi padanya. Dia pasti terus menelaah di dalam hatinya. Namun baiklah, untuk saat ini, bukan waktu yang tepat bagiku untuk memikirkannya. Sekarang adalah tinggal bagaimana caranya aku menyelesaikan semua ini. Masalahku dengan seseorang, yeah. Seseorang yang sedang menungguku di taman. Ditya..., Reyna.., maafkan aku.
ѻѺѻ
Hmm. Suasana begitu dingin. Di taman ini, tempat biasa aku bertemu dengan seseorang. Tempat yang sungguh sepi, sesuai dengan suasana yang aku sukai, suasana sepi, asri, dan.. romantis. Merasa bersalah? Pastinya! Kenapa? Karena akulah di sini yang sebagai terdakwa. Aku salah, jahat, dan begitu tega. Kini aku telah dekat dengan seseorang yang aku suka, seseorang yang ternyata baru kuketahui juga disukai oleh sahabat terbaikku, Reyna. Tentunya aku merasa bersalah, karena beberapa jam yang lalu, tepatnya pada saat pelajaran kosong setengah jam sebelum bel pulang sekolah berbunyi tadi, saat aku santai melihat isi dari folder gambar yang berada di dalam telepon genggam Reyna, kulihat ternyata betapa  ia mengagumi Glen juga. Ia simpan banyak sekali, bahkan hampir semua dari folder-folder foto Glen yang selama ini kulihat ada di akun facebooknya. Yeah, Reyna teman terbaikku, temanku sejak aku kecil dahulu, ternyata diam-diam tanpa sepengetahuanku dia menyukai Glen. Dan aku yang baru saja mengetahuinya, betapa bahwa puisi-puisi Reyna yang telah kubaca selama ini di dalam telepon genggamnya adalah semata-mata untuk Glen, seorang yang sejak dahulu dekat denganku. Puisi itu sangat romantis, begitu memperlihatakan bahwa saat ini seorang sahabatku yang terkenal sulit sekali untuk mengagumi seorang pria seperti Reyna, jelas sedang memuja-muja sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Ia yang selalu aku tanyai selama ini “Rey, puisi ini untuk siapa?? Cieelah Rey Rey.... hahaha”, dan ia tak sedikit pun mau menjawab. Hanya dengan kata-kata, “Haha.. nanti juga kamu tau kok Lunaku sayang... hahaha”, tanpa ada sedikit pun rasa curiga terhadap kedekatanku dengan Glen selama ini. Dan juga betapa bodohnya aku, yang telah betahun-tahun menjalin persahabatan dengan Reyna, dan kemana pun ia pergi maka di sana juga lah aku berada, tidak sedikit pun aku bisa melacak sinyal asmaranya yang mungkin telah ia pancarkan terhadap Glen selama ini. Glen, ialah kaka kelasku dan ketua osis di sekolah kami, yaitu SMA Taruna Bangsa. Aku mengenal Glen, dari hasil kerjasama yang terjalin diantara kami berdua, dari hasil program kerja oleh pihak osis dan jurnalistik sekolah –dimana aku yang menjadi ketuanya-. Dari sanalah bibit kedekatan kami muncul. Aku dan Glen, yang selama ini ternyata merasa saling memiliki pandangan yang cocok diantara satu sama lain, meneruskan kedekatan ini sehingga akhirnya menjadi suatu hubungan yang agaknya sedikit lebih, meskipun itu belum memiliki status. Dan selama ini kami selalu menjalinnya di luar lingkungan sekolah, agar jangan sampai ada satu orang lain pun  yang tahu, setidaknya sampai ada komitmen di antara kami berdua, termasuk kedua sahabatku. 
 “Glen”, sapaku, memulai pembicaraan.
“Ya, ada apa Luna”.
“Sejujurnya saja, aku merasa bersalah.”, lanjutku menatap lurus ke arah danau.
“Bersalah kenapa..?”, tanyanya.
Kukuatkan mentalku.  “Sebenarnya.. aku tidak bisa melanjutkan kedekatan kita ini. Aku tidak bisa, Glen, maaf.. aku tidak bisa mendustai sahabatku sendiri... aku tidak bisa...”, ucapku, sungguh sangat merasa bersalah, isak. Mataku mulai memerah, dan aku harus menahan air mataku.
“Ya, tapi kenapa? Ada apa?”, tanyanya lagi.
“Glen.. aku bersahabat dengan Reyna sudah lebih dari sepuluh tahun.. dan kini aku tidak bisa seolah menyimpan semua rasa bersalah itu, aku tidak bisa menghianati sahabat yang sudah seperti saudara kandungku sendiri.. Aku tidak bisa..! dia, Reyna, suka padamu Glen! Ia sangat mengagumimu, dan kamu sadari itu selama ini nggak sih?!!”, ucapku yang sudah mulai tidak bisa lagi menahan gejolak emosi. Aku marah, kecewa, bingung, namun tidak tahu oleh siapa. Aku pun tidak tahu pula harus bagaimana. Oh Tuhan, bencana apa ini? Rencana apa yang telah Engkau siapkan, di balik semua masalah ini?? Sungguh hatiku bergejolak, semua rasa bercampur aduk di dalam hatiku.
Semua berhenti sejenak.
“Ya. Aku sadar”, ucapnya, tiba-tiba. “Aku sadar selama ini, betapa sahabatmu itu menyukaiku, namun kufikir kenapa aku harus menganggapnya? Kenapa kita harus berfikir pusing? Kan yang aku suka hanya kamu, itu masalah perasaan, kamu dan sahabatmu meskipun kalian berteman akrab, namun kalian berdua tetap harus profesional... dan itu adalah hakku, biarkan aku yang memilih..”, ucapnya tenang.
Apaah?! Seenaknya ia berkata seperti itu. Oke! Aku sadar memang benar apa pun yang ia katakan, soal perasaan kita memang harus profesional. Namun tidak pernakah ia rasakan, memiliki sahabat baik, bahkan sangat akrab, dan hingga akhirnya terjebak cinta segitiga??! semua itu tidak semudah yang ia katakan! Dan setelah mendengar itu, sungguh... kini aku pun tahu jawabannya.. “Dan ternyata aku benar, aku benar dengan segala pilihanku. Aku tahu perkataanmu itu memang benar, namun tidak bisakah kamu menghargai sedikit saja perasaan sahabatku?! Sadarkah kamu, bahwa aku sangat menyayangi dia seperti saudaraku sendiri, aku mengenal Reyna, aku mengenalnya sejak dulu jauh sebelum aku mengenalmu... dan kini kata-katamu semakin menyadarkan aku, bahwa apa yang aku pilih benarlah sahabatku. Aku jauh lebih memilih dia, dan bukan kamu.. maaf kak”, sahutku, sangat marah. Aku sungguh kecewa, mendengar jawabannya yang dimana aku sangat berterima kasih pada Tuhan, setidaknya telah menunjukan langsung padaku, bahwa disanalah letak kekurangan Glen. Memang setiap insan diciptakan pasti memilikki kekurangan, namun sungguh aku kecewa. Kecewa mendengar jawabannya, yang semakin menunjukan siapa dan betapa sangat tidak dewasanya ia. Keegoisan seorang Glen, ketua osis sekaligus kakak kelas di sekolahku, orang yang sejatinya sempat aku perebutkan dengan sahabatku selama ini, meski pun tidak secara langsung dan terang-terangan. Dan kini.. sungguh, aku menyesal pernah mengenalnya.

ѻѺѻ
Pagi hari saat di kantin sekolah, nafasku sungguh lega. Semua telah kembali normal kini. Syukurlah Tuhan.. Kau datangkan padaku malaikat penolong tadi malam. Saat aku berjalan menuju rumah. Hujan, tidak ada kendaraan atau satu pun taksi yang lewat. Dimana semua situasi itu seoalah semakin mendukung kesedihanku. Memporak-porandakan perasaanku yang saat itu kian dilanda perasaan hancur yang selengkap-lengkapnya. Semua kurasakan, penyesalan yang begitu dalam telah mengenal seorang bajingan seperti Glen, yang selama ini tak pernah kusangka akan tega meninggalkanku tadi malam di taman sendirian. Setelah semua kejadian percakapan itu, ia menanyakan satu hal terakhir padaku: apakah aku akan tetap mengizinkannya untuk terus tetap melanjutkn hubungan kedekatan ini kepadanya. Dan tentu saja jawabanku adalah tidak! Dan setelah mendengar jawaban itu, dengan teganya ia meninggalkanku di taman pinggiran danau itu sendirian. Hujan, sepi, tanpa satu apa pun yang menemani, atau menyelimuti tubuhku, ia hanya memelukku untuk terakhir kalinya, meskipun kuyakin Tuhan pun tahu betapa setengah hati aku membiarkan itu terjadi padaku. Dan setelah itu, ia pergi meninggalkanku.. begitu saja. Oh sungguh, betapa pengecutnya ia! Dan yang membuatku semakin tersedu menangis malam itu adalah, kesialanku. Kesialanku pernah mengenal seseorang lelaki bajingan seperti dirinya, tidak bertanggung jawab, sungguh tidak dewasa. Lelaki yang telah membuatku menjadi penghianat untuk saudaraku sendiri, sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudara kandungku. Lelaki yang bahkan tidak sedikit pun pantas untuk diperebutkan, apalagi jika sampai menjadi milik teman terbaikku, Reyna. Sudah cukup aku sajalah yang tersakiti, sangat cukup untuk menggambarkan bagaimana sosok lelaki yang sedikit pun tidak pantas untuk seorang seperti Reyna, sahabatku. Namun kini semua telah tentram, aku bahagia, karena tadi malam pangeranku datang. Seorang telah datang untuk menjemputku pulang, melindungiku dari dinginnya basahan air hujan mengguyur deras tubuhku. Ia menghantarku pada pengharapan yang lebih baik, bahwa sebenarnya aku tidak pernah sendiri selama ini.
“Kamu kok bisa tahu bahwa tadi malam aku ada di sana..”, tanyaku pada pangeran itu, saat Reyna sedang memesan makanan meninggalkan meja tempat makan yang kami singgahi di kantin.
“Tentu. Aku tahu.”, jawabnya tenang. Setenang tatapan matanya yang kebiruan.
“Mengikutiku selama ini?”, tanyaku lagi.
“Ya. Selalu, selama ini. Namun kemarin aku menyusulmu,  karena aku tahu kau mau kemana saat itu.”, ucapnya.
“Lalu, apa yang harus aku katakan untuk meyakinkan Reyna bahwa Glen tidak baik untuknya?”, tanyaku.
“Kita lakukan itu sama-sama ya... Buat dia yakin, bahwa sebagai sahabat ucapanmu itu pasti benar.”, sahutnya, yang tiba-tiba menggenggam tanganku.
Aku hanya terdiam. Sungguh aku merasa nyaman berada dekat sisinya. Tak kusangka selama ini yang kucari, ternyata ia selalu berada si dekatku. Sejak dulu. Dan aku menyayanginya, melebihi apa yang pernah kurasakan terhadap Glen selama ini.
“Thank you so much, my real best fiend..”, ucapku, meski dengan setengah hati. Aku tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan dari apa yang dilakukannya selama ini terhadapku. Meskipun itu sudah terlalu jelas, sangat berbeda. Dan mungkin, kini itu pula lah yang aku rasakan. Oh sungguh.. aku menyayanginya. Ditya-ku.
“Just best friend? Dont mention it, my soul..”, ucapnya. Semakin menggenggam tanganku erat.
“Soul ?”, tanyaku kaget. Itu adalah sebutan yang sama dengan apa yang selama ini Glen sebutkan terhadapku. Dan mengapa kini Ditya yang malah ikut menyebutkannya untukku?
“Keget ya ? hihi..., you are my soulmate honey, more than just my soul..”, tawanya lembut.
Hahahahaha, seorang Ditya-ku... Ditya yang sangat kusayangi. Sebagai sahabatku... atau, mungkin lebih.. sangat lebih. Hahaha, bisa juga ia meledekku........  
≈Sekian≈
Created by : Cut Falah N.R.
ini adalah cerita yang aku buat saat SMP dulu ( kurang lebih 5-6 tahun yang lalu ^^)
untuk mengetahuiku lebih kunjungi blog-ku di : cutfalah.blogspot.com
atau via twitter @CutFalahNR
see you ^_^
 

Postingan Terpopuler

Postingan Terbaru