Helai keempat – Si
bodoh memungut sebongkah pergolakan bathin berlabel GALAU dalam perjalanan semu
nya yang membodohkan.
Si bodoh merindukanmu,
dia merindukanmu, merindukanmu. Itu yang di gumamkan si bodoh setiap hari.
Rindu, rindu, rindu. Selalu sebuah kata itu yang digumakannya saat bangun dari
tidur lelah nya hingga kembali terlelap dalam tubuh lelah nya pula. Lelah, itu benar
sekali. Si bodoh mulai lelah, juga takut, karena ia masih sendiri, masih saja
tak ada yang temani, sendiri, sepi, disini. Tapi, bolehkah ia merindumu?
Tak hanya tubuhnya yang
dijangkiti rasa lelah, kamu tahu? Si bodoh tak kalah sibuk dari kamu, tapi, ada
satu hal lain yang membuatnya tak ada kesempatan untuk beristirahat barang
hanya sebentar saja, hal lain yang sayang nya tak kamu juga lakukan, kamu tahu
apa itu? Uhm, seharusnya si bodoh tak mengajukan pertanyaan ini, oh bukan,
seharusnya si bodoh tak perlu melontarkan pertanyaan demi pertanyaan bodoh yang
terkesan aneh bagimu. Tapi, bolehkah ia merindumu?
Namun,
lain halnya bagi si bodoh, pertanyaan-pertanyaan bodoh nya itu adalah rangkaian
kata terpintar yang di susunnya dengan susah dan lama, itu tidaklah semudah
permainan puzzle atau bahkan catur yang pernah di mainkan si bodoh. Ini lebih
sulit, padahal hanya mengatur susunan kata demi kata, mengapa? Ah, jangan
tanyakan pertanyaan itu. Si bodoh pasti akan menjawab seperti ini, ah, aku
tahu. Hm, tentu, karena si bodoh selalu tak tahu. Wajar, dia kan bodoh. Tapi,
bolehkah ia merindumu?
Kamuyang selalu enggan
memberi jawab atas tanya si bodoh. Walau bagi kamu itu hanyalah hal amat sepele
yang aneh, namun, pernahkah sekali saja, kamu terpikir atau merasakan, bahwa
nyatanya bagi si bodoh itu adalah sesuatu yang berharga, pedomani ia agar ia
dapat menjadi sedikit lebih pintar dan tak selalu tersungkur dalam jurang hati
mu yang semakin gelap, dan bahkan sekarang ia mulai merasa kedinginan. Si bodoh
hanya bertanya, bukan meminta.Tapi, bolehkah ia merindumu?
Malangnya, kebodohan si
bodoh sepertinya telah membuat kamu bahkan takut padanya. Hei, kamu, dengar, si
bodoh bukan seorang paparazzi, dia itu stalker. Ups! Pengakuan bodoh dari si
bodoh membuatnya tampak lebih, lebih, lebih, dan kian bodoh lagi. Si bodoh juga
tak tahu mengapa ia bisa begitu, terlalu jujur, pada kamu. Si bodoh lagi lagi
tak tahu. Dia hanya beralibi seperti ini, tiba-tiba sesuatu bermunculan di
kepala bodohnyu, dia menyambar ponselnya, mengetik huruf demi huruf,
merangkainya menjadi sebuah kata, lalu kata demi kata tersusun menjadi
sebuah kalimat apik, kemudian kalimat demi kalimat terikat dalam sebuah
paragraf yang padu, dan akhirnya, mengirimkannya ke nomor kamu yang entah sejak
kapan pula telah terhapal diluar kepala bodoh nya. Si bodoh tak tahu, sekali
lagi, dia tak tahu. Ah, dia bodoh sekali ya. Tapi, bolehkah ia merindumu?
Si bodoh selalu
terkenang masa ketika inbox ponselnya disesakkan oleh pesan – pesan singkat dari
kamu. Si bodoh teringat kala dia begitu bodoh menunggui ponselnya bergetar atau
pun berdering, dan dia akan segera menyambarnya, lalu menemukan, eh, ternyata
bukan dari kamu. Alangkah berkerutnya hati si bodoh, ia lemas, bercampur
cemberut, dan masih resah. Si bodoh meletakkan ponsel itu sejajar dengan
matanya, dengan ujung dagu menempel di permukaan meja belajar cokelatnya,
dengan degup-degup berpacu, memburu, di jantungnya, dengan senyum-senyum kecil
yang malu-malu, dengan harap-harap cemasnya, dengan ketukan-ketukan gusar oleh
ujung kuku telunjuknya di permukaan meja belajar, dengan tiupan demi tiupan
menghembus poni selamat datangnya, dengan goyang-goyangan kaki di kolong
mejanya, dengan gigitan resah di bibir bawahnya, dengan sebongkah pergolakan
bathin di hatinya, dengan segala macam ekspresi kegundahannya. Tapi, bolehkah
ia merindumu?
Lalu, si bodoh
membanting ponsel barunya itu, jika tak kunjung tiba pesan singkat dari kamu,
walau hanya terpelanting kasar ke kasur, tapi dia pastikan, dia telah
menggunakan tenaga yang cukup besar ssat melempar ponsel barunya, ke kasur itu.
Ah, mengapa si bodoh melakukannya? Ah, si bodoh juga tahu mengapa.
Bagaimanamenjabarkannya pun si bodoh kehilangan kata untuk di tulis. Padahal
dia berkata bahwa dia sangat suka menulis. Dasar, mengapa begitu banyak hal
yang si bodoh tak tahu? Bodoh nya si bodoh itu.Tapi, bolehkah ia merindumu?
Si bodoh juga terkenang
saat-saat dimana ia mendengar suaramu yang sebenarnya membuatnya sebal dengan
nada suara itu, tapi, entah mengapa, si bodoh ingin selalu mendengarnya, lagi
dan lagi. Si bodoh sedikit takut, jika suara itu tak lagi terngiang di
telinganya, ia takut, jika ia akan lupa bagaimana nada suaramu. Mengapa? Karena
semakin lama, rasanya, getar vokal itu semakin samar. Dasar, bodoh. Tapi,
bolehkah ia merindumu?
Si bodoh masih ingat
dengan jelas, tentu, karena ia mencatatnya. Sejak terakhir bertemu, kamu hanya
menelpon nya sebanyak dua kali. Pertama, pada 7 juli 2011, Kamis
malam, dua hari sebelum ujian Reguler Mandiri UNAND, malam itu, si bodoh karena
saking gugup bercampur girang, dia tak tahu harus menjawab bagaimana, pada ayah
nya yang mendapati si bodoh tengah berteleponan dengan seorang manusia berjenis
kelamin laki-laki. Kepala bodoh si bodoh seperti di bungkus dengan selimut putih
bersih, ah, si bodoh maksud, dia tak tahu apa yang harus di katakannya. BLANK!
Ah, untung saja, kali itu, si bodoh masih cukup beruntung, ia selamat dari
interogasi, syukurlah. Tapi, bolehkah ia merindumu?
Kedua, pada 6
Novemeber2011, minggu siang itu. Si bodoh benar-benar tak menyangka, kamu,
hanya menelpon nya, untuk memarahi si bodoh yang telah bertindak bodoh. Si
bodoh ulangi, menelepon hanya untuk memarahinya. Walau suara mu tak terdengar
begitu jelas, tapi si bodoh tahu kamu sedang memarahinya. Dia sungguh gusar,
dia sungguh takut, kamu, yang tiada dia dengar suaramu sekian lama, tiba-tiba
meneleponnya, si bodoh dengan kebodohannya dalam menebak, berpikir, oh kamu
pasti sangat marah padanya, dia, si bodoh itu berpikir dengan amat bodoh dan
sok sekali, bahwa dia memang telah berulah yang membuatmu pantas sangat marah
padanya. Si bodoh sungguh resah, dia takut, sungguh.
Lalu, lihat. Apa yang
ia terima akibat kegusaran, keresahan, kegundahan, kekalutan, kecemasan, dan
ketakutan nya yang bodoh itu? Itu justru membuat kamu semakin muak padanya.
Lihatlah, betapa bodohnya ulah si bodoh. Haha. Ah, dasar si bodoh yang bodoh.
Dia benci kebodohannya yang tak beralasan dan menyesakkan itu! Tapi, bolehkah
ia merindumu?
Sibodoh masih menyimpan
begitu banyak SMS dari kamu. Ketika level rindunya mencapai klimaks, dia akan
menggeser layar sentuh ponselnya, jemari kecil nya menelusuri sebanyak 2859
pesan di inbox, dan ia pun tersenyum saat menemukan deretan SMS dengan namamu.
Dia membaca satu persatu, tersenyum-senyum sendiri dengan geli yang menggelitik
di hati, tersenyum pingkal kala sepasang mata di balik kacamatanya beradu
tatap dengan foto yang terselip apik di gallery itu, foto favoritnya. Foto
favoritnya, kamu dengan ekspresi dan raut muka menyebalkan mu itu. Tapi,
bolehkah ia merindumu?
Tak puas dengan itu,
si bodoh kemudian menelusuri jejak pencaraian kamu di history web online.
Ada facebook mu, serta akun twitter mu. Ah, leganya si bodoh jika menemukan
bahwa ternyata kamu masih hidup disana. Karena kebodohannya yang kian bodoh,
berbagai macam ide-ide bodoh berputar mengelilingi kepala bodohnya, ia ingin
sekali kamu berkomunikasi dengannya. Ah, si bodoh bahkan tampak seperti seorang
stalker profesional sekarang. Dasar, sungguh tidak anggun sedikit pun. Bodohnya
si bodoh! Dia memukul kepalanya. Mengapa? Ah, si bodoh pun tak tahu mengapa
diabisa bermutasi menjadi gila seperti ini. Mengapa? Ah, si bodoh bilang tak
tahu! Tapi, bolehkah ia merindumu?
Si bodoh, dia,
sibodoh itu justru bukannya berhenti menyukai kamu, bahkan saat ia
mendegar kisah kamu dengan dia yang masih atau tak lagi kamu suka, si bodoh tak
tahu. Betapa bodohnya si bodoh, dia bahkan dengan sangat yakin, oh atau
mungkin terlalu percaya diri, berkata pada hati terkecilnya, bahwa dia akan
menunggu kamu, menunggu kamu datang pada kepadanya, apapun alasan yang kamu
bawa, hingga kelak waktu jua lah yang akan bericara. Tapi, bolehkah ia
merindumu?
Si bodoh memutuskan
untuk berhenti melangkah, si bodoh lelah terus berdiri, ia akhirnya terduduk
memeluk lutut dengan wajah bodoh yang dibenamkan di sela kedua lutut dan
perutnya, ia menjaga hati nya agar tak lepas dan beralih ke kamu, kamu, dan
kamu yang lain. Si bodoh menanti dalam kesendirian sepi yang setia temani
harinya, menanti tepukan kecilmu di kepala bodohnya, membantunya berdiri,
mengajarinya berjalan, dan mengirinya berlari, bersama di perjalanan tak
berujung. Si bodoh itu sedang dan masih menanti kamu, yang entah mengapa pula,
si bodoh tak tahu, mengapa hanya ada kamu di otak bodohnya itu. Tapi, bolehkah
ia merindumu?
Si bodoh bahkan sialnya
tak mampu walau hanyasekedar membayangkan siapa lah yang akan ditakdirkan
bersanding dengannya kelak, ah, itu pun jika iamemiliki umur sampai sepanjang
itu, jika dia seberuntung itu. Di otak bodohnya hanya ada kamu, kamu, kamu, dan
juga kamu. Mungkin karena otak bodohnya terlalu bodoh untuk membangun
ilusitentang sesosok kamu yang lain. Dia bodoh, sangat bodoh. Tapi, bolehkah ia
merindumu?
Lalu, apa kamu tahu?
Ah, kamu pasti tak tahu. Iya kan? Tentu. Si bodoh entah mengapa begitu ingin
bertemu kembali denganmu, ia sungguh ingin memuntahkan sesuatu yang
mengaduk-aduk perutnya. Mungkin dia akan mual-mual dan ingin muntah, tapi tak
juga muntah, dan sesuatu itu masih sesak di dadanya. Ah, menjijikkan. Tapi,
bolehkah ia merindumu?
Begini, dia mungkin
akan berbicara berbelit-belit dan membaut kamu semakin bingung, tak mengerti,
dan pada akhirnya, kamu akan memarahi si bodoh yang akan tampak kian bodoh di
depan kamu yang sialnya, si bodoh, dia terlalu suka. Dia benci mengapa tak bisa
bicara selancar ini ketika di depan kamu, mengapa ia begitu bodoh dalam hal
lisan, mengapa dia begitu bodoh dan hanya berani bersorak dalam kata. Ia benci
menjadi seorang yang tak berarti bagimu. Tapi, bolehkah ia merindumu?
Sungguh, ia hanya ingin
kamu, walau hanya satu kali saja, melihat nya, walau hanya sepintas. Ia tak
minta lebih, meminta kamu mendampinginya dalam suatu ikatan antara kamu dan si
bodoh, itu, adalah hal yang amat berlebihan kan bagi si bodoh? Dia cukup tahu,
kamu bukan untuknya, tapi untuk dia yang lain, yang si bodoh masih juga tak
tahu, dia yang lain itu, adalah itu atau dia yang lain, atau dia yang lain lagi
dan lagi. Ah, begitu banyak dia di sekitarmu yang bergiliran mengacukan sistem
otak si bodoh yang memang bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?
Bolehkah si bodoh itu
merindumu?
Bolehkah?
By: Rahmadila Eka Putri (@ladilacious)
(Blog: Bacotan si dilacious)