Kalau kita bicara tentang cinta, tentang aktivitas orang-orang berpacaran, maka kita akan menemukan sebuah fase yang dinamakan pendekatan. Masa itu merupakan masa-masa di mana kita menyelami karakter, mencari tahu, penuh tanya, harap-harap, kecemasan, kesabaran sekaligus ketidaksabaran, tentang satu kata: RASA.
Ada berbagai rasa berkecamuk muncul dalam diri; bagaimana perasaan dia?; apa artinya semua perhatian dia?; kenapa dia jadi baik?; hingga lahir pula pertanyaan tidak normal diatas pertanyaan normal itu; kenapa dia putus sama pacar sebelumnya?; Bagaimana dulu mereka pacaran?; dan yang paling norak namun menjadi yang sekaligus hinggap dipikiran adalah; Siapa mantannya dan siapa yang lebih baik secara fisiknya?
Helaan nafas lega, untaian kata manis penuh syukur, wajah-wajah ceria, kepercayaan diri yang secar ajaib kembali tumbuh begitu saja ketika kita tahu bahwa mantannya lebih kurang menarik fisiknya (menghindari berkata 'jelek') dibanding kita. Berbanding terbalik jika kita mengetahui mantannya ternyata jauh lebih cantik/ganteng, lebih fashionabel, lebih modis, lebih gaul, lebih menarik, serta lebih-lebih lainnya. Kalo begini, bukan lega yang ada, bukan syukur yang terucap, buat wajah ceria yang ada, dan bukan kepercayaan diri yang secara ajaib tumbuh, melainkan; kepanikan, merutuki diri 'kenapa gak tau diri' atau 'kenapa jelek' dll, wajah kusut, dan rasa percaya diri yang turun drastis, bahkan melempem, bahkan tenggelam.
Pikiran mulai disibukkan dengan berbagai kecurigaan tak perlu, dengan kejamnya melabeli diri sebagai sosok paling tak menarik diseluruh dunia, mematahkan jutaan kalimat positif yang sering digaungkan oleh para motivator bahwa cinta sejati tidak melihat dari fisik, berkata dan berpikir bahwa dirinya sendiri tidak mendampingi siapapun yang ada di dunia ini, sibuk memikirkan pendapat orang lain tentang kekurangan kita, hingga melupakan tiap jengkal kelebihan di diri yang PASTI dimiliki.
Ya, manusia sering menjadi terlalu kejam pada dirinya ketika menemukan kenyataan yang tidak seindah dugaannya. Ketidakmampuan atau ketidakmauan bersaing dengan mantan pacarnya gebetan apalagi di hal fisik, membuat pikiran kita mendadak sempit bahkan untuk siapapun di luar sana yang mengagungkan logika. Memang, jenis manusia yang bisa dan lebih sering melakukan tindakan kejam ini adalah dan tidak lain: PEREMPUAN.
Mereka seakan terlupa tentang haknya berbahagia, menikmati cinta, dan menjadi cantik cuma karena punya saingan yang lebih cantik, lebih keren, lebih gaul, lebih modis dan lebih-lebih lainnya dalam mendapatkan gebetan, atau mantan si gebetan yang emang cantik luar binasa (luar biasa, I mean :p).
Jujur, menurut saya, hal itu merupakan tindakan kejam yang pernah dilakukan seorang manusia pada dirinya sendiri. Tentu saja, gimana orang lain bisa menghargai kita, bisa memperlakukan kita dengan baik, kalau kita sendiri justru menghina? Serta, kenapa masalah mantan yang lebih baik secara fisik harus dijadikan masalah? Mereka itu masa lalu, dan kita bisa menjadi masa depan dia dengan tidak hanya fisik yang lebih baik namun juga sikap dan cara memperlakukan si gebetan.
Tindakan itu juga menunjukkan jika kita sebagai manusia kurang bersyukur. Karena, kalo kita semua diam sejenak untuk berpikir, tentulah kenyataan bahwa diluar sana masih banyak orang dengan segala kekurangan mereka dalam hal fisik dapat diterima dengan baik oleh lawan jenis. Lantas, kenapa kita malah merendahkan diri?
Saya teringat suatu perjalanan kecil menuju Serang, di mana saya pergi menggunakan kereta butut ekonomi seharga Rp. 1500. Saya memang terbiasa naik kereta tersebut, hanya saja belum pernah kalau pergi menuju Serang. Banyak sekali hal yang menarik mata saya di sana, bagaimana pedagang yang rata-rata pria menjual sesuatu yang biasa ditangani wanita seperti menjual minuman, makanan, hingga aksesoris. Tapi, sesuatu yang paling menarik hadir dari sepasang yang saya duga adalah suami istri. Mereka masih muda dengan dandangan yang menurut saya, jauh dari kata trendi. Sang pria yang gagah memiliki wajah seperti almarhum Benyamin, mengenakan kemeja yang dipadu celana berpotongan cut bray, tidak ketinggalan sebuah sabuk dengan hiasan kepala melingkar dipinggangnya. Total, dia terlihat seperti Benyamin yang hidup kembali, bedanya hanya terletak di giginya yang rada maju. Sang wanita, berkulit putih kontras dengan kulit suaminya yang hitam. Wajahnya manis, khas wanita sunda, rambutnya keriting halus. Ia menaburkan sedikit bedak di wajah dan lipstik merah tapi tak menyolok di bibir, duduk anteng disebelah suami. Jari mereka dihiasi cincin serupa. Cincin nikah pastinya, pikirku.
Disekitar mereka duduk, terhampar berbagai hasil panen beberapa tandan pisang, beberapa tandan singkong, dan entah apa yang dimasukkan kedalam karung-karung. Tampaknya, mereka akan pulang kampung.
Dengan itu semua, dengan segala asumsi di otak saya tentang kehidupan mereka yang dekat dengan kata sederhana, dan bersama kenyataan si istri memiliki suami berwajah 'purba', keduanya memancarkan sinar kebahagiaan di wajah masing-masing. Saya tidak tahu pasti apa yang menyebabkan mereka bahagia, yang saya tahu adalah bagaimana si istri yang cukup cantik duduk manis, nyaman, dan bahagia disebelah suaminya.
Well, pikiran iseng saya berkata, si wanita tentunya bisa mendapatkan pasangan/suami yang lebih baik, wajahnya, ketimbang suaminya. Tapi lantas, pikiran saya seperti ditendang oleh pikiran lain bahwa hidup, bahwa pasangan, bahwa kebahagiaan tidak diukur dengan bagaimana cantik/tampannya dirimu, bagaimana cantik/tampannya pasanganmu, namun tentang bagaimana kalian bisa mengisikan cinta ditiap harinya. Cinta yang tulus tanpa tendensi apapun...
Hari itu saya belajar tentang sesuatu yang terus saya pupuk hingga sekarang. Mengenai bagaimana kita menerima dan mencintai pasangan beserta keseluruhan dirinya, bukan karena penampilan fisik yang lebih sering menipu dan memanipulasi lewat kamuflase serta kemayaan semata.
By: