Aku ingin menenggelamkan wajahmu diatas kertas,
dibalik cermin, dibawah tumpukan buku-buku usang, dilorong sempit, dimanapun.
Aku ingin mendekap, melayang dan menghujani tubuhku dengan luapan perasaan
rindu tak tertanggungkan, kerinduan yang
telah bertumpuk dibelakang rumah.
Aku ingin teduh bersama riak air,
bersama sunyi, bersama ramai, bersama jutaan mimpi yang berbuih terbang
menghiasi padang ilalang, rerumputan, sungai, menghiasi dunia. Aku ingin
berlari, lari ke hutan, ke gunung, ke angkasa, lari hingga lelah.
Aku sering membuat beragam skenario
dikepalaku, menuangkannya dalam bermacam imajinasi tak bergaris. Akulah
sutradara, pemain, penerjemah, sekaligus kritikus dalam dunia yang kubuat
sendiri. Dunia kecil yang menyenangkan. Aku kerap menjadikan kamu sebagai tokoh
utama, kita berlayar menggunakan kapal tongkang hingga ujung pulau Seribu. Tak
ada penyesalan. hanya ada Laut, Nyata, dan Kita. Tapi setiap kali aku tersadar,
kenyataan menjatuhkan aku hingga hancur, meremukkan tubuhku hingga ke sendi-sendinya.
Itu semua semu. Entah apa yang membuat dirimu begitu sulit dilupakan, kadang
aku kehabisan alasan untuk tidak menulis tentangmu hingga tintaku kering,
hingga kosakataku habis, hingga ratusan halaman buku sudah tak cukup lagi untuk
mencatat namamu. Kamu adalah kenyataan yang perlahan berubah menjadi imajinasi
abstrak.