“Soulmate”
Teeeeeeettttttttttt!!!”,bel pulang sekolah pun telah
berdering. Seperti yang telah kutunggu sejak tadi, tanpa membuang waktu lagi,
ku kaitkan tas selempanganku dan berlari ke luar pintu kelas. Aku memang
sengaja meninggalkan Ditya dan Reyna, kedua sahabat akrabku. Sengaja. Merekalah
sahabat terbaikku, percaya atau tidak, kami bersahabat sudah sangaat lama! Seumur
hidupku aku mengenal mereka bahkan ketika usiaku masih menginjak 3 tahun. Masa
itu aku dan keluargaku, yang hanya terdiri dari aku, papah, dan mamah, kami
pindah dari New Zaeland Sejak kami pindah
ke sini -Kemang-Jakarta-, yang aku kenal hanyalah mereka sahabatku, Reyna dan
Ditya. Namun syukurnya, kedua sahabatku itulah yang sangat mengerti aku. Dari
sekian banyak orang disekelilingku, termasuk juga dengan keluargaku, hanya
merekalah yang memahami serta mengetahui karakter dan kepribadianku. Meski pun
mereka sendiri juga adalah berasal dari keluarga yang sama denganku, namun
syukurnya di tengah kehidupan yang menjenuhkan ini, Tuhan masih mau memberikan
dua sahabat setia untukku.
“Nah,
tu dia!”, teriak Reyna. “Luna...!”, panggilnya dari kejauhan.
Aku yang melihat dari arah berlawanan pun terdiam. Mencoba
berfikir keras, apa yang harus aku lakukan. Jantungku berdegup kencang, begitu
keras untuk ukuran sebuah detakan jantung. Jujur, aku merasa bersalah.. entah
apalagi yang dapat aku lakukan. Sepanjang jam pelajaran tadi, hatiku terus
gelisah, tidak mungkin aku berhenti memikirkannya. Harus ada yang aku lakukan,
aku tidak mungkin diam, aku harus bicara dengannya. Aku sakit karena telah
melakukan kesalahan, kesalahan terbesar yang sesungguhnya tidak pernah aku
ketahui. Aku tidak sedikit pun menyadarinya, oh betapa bodohnya aku! Dan yang
paling mermbuatku merasa lebih tersakiti lagi adalah, jika membayangkan
sehabatku Reyna, mengetahui semua ini. Aku akan jauh lebih rapuh lagi, jika
seandainya ia merasa begitu tersakiti hanya dikarenakan kebodohanku ini!
sungguh parahnya aku, maafkan aku Reyna... maafkan aku saudaraku sayangg...
maaf, maafkan. Dan kini aku harus beranjak pergi, secepat mungkin. Lebih cepat,
lebih baik, ayo semangat Luna. Aku pun langsung memalingkan wajah, berlari dari
hadapan mereka. Sangat kuyakini, pasti, mereka aneh melihat sikapku. Lantas aku
harus bagaimana? Harus berkata apa? Aku tidak ingin mereka berdua, terutama
Reyna tahu bahwa hendak kemana aku ingin pergi untuk menemui seseorang. Dan
ditambah lagi Ditya, dia pasti semakin curiga melihat tingkah lakuku. Sejak
tadi Ditya menatapku tenang. Itulah memang selalu gayanya. Ia selalu tenang
dalam kondisi apa pun, meski sepanik apa pun itu situasinya. Dan diantara kami
bertiga, dialah yang paling sering menenangi kala aku dan Reyna saling
berselisih. Aku sadar, dan yakin sekali bahwa dibalik caranya yang tenang,
Ditya pasti mengetahui jalan fikiranku,
itulah yang selalu terjadi padanya. Dia pasti terus menelaah di dalam hatinya. Namun
baiklah, untuk saat ini, bukan waktu yang tepat bagiku untuk memikirkannya.
Sekarang adalah tinggal bagaimana caranya aku menyelesaikan semua ini.
Masalahku dengan seseorang, yeah. Seseorang yang sedang menungguku di taman.
Ditya..., Reyna.., maafkan aku.
ѻѺѻ
Hmm. Suasana begitu dingin. Di taman ini, tempat biasa aku
bertemu dengan seseorang. Tempat yang sungguh sepi, sesuai dengan suasana yang
aku sukai, suasana sepi, asri, dan.. romantis. Merasa bersalah? Pastinya!
Kenapa? Karena akulah di sini yang sebagai terdakwa. Aku salah, jahat, dan
begitu tega. Kini aku telah dekat dengan seseorang yang aku suka, seseorang
yang ternyata baru kuketahui juga disukai oleh sahabat terbaikku, Reyna.
Tentunya aku merasa bersalah, karena beberapa jam yang lalu, tepatnya pada saat
pelajaran kosong setengah jam sebelum bel pulang sekolah berbunyi tadi, saat
aku santai melihat isi dari folder gambar yang berada di dalam telepon genggam
Reyna, kulihat ternyata betapa ia
mengagumi Glen juga. Ia simpan banyak sekali, bahkan hampir semua dari
folder-folder foto Glen yang selama ini kulihat ada di akun facebooknya. Yeah,
Reyna teman terbaikku, temanku sejak aku kecil dahulu, ternyata diam-diam tanpa
sepengetahuanku dia menyukai Glen. Dan aku yang baru saja mengetahuinya, betapa
bahwa puisi-puisi Reyna yang telah kubaca selama ini di dalam telepon
genggamnya adalah semata-mata untuk Glen, seorang yang sejak dahulu dekat
denganku. Puisi itu sangat romantis, begitu memperlihatakan bahwa saat ini
seorang sahabatku yang terkenal sulit sekali untuk mengagumi seorang pria
seperti Reyna, jelas sedang memuja-muja sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Ia
yang selalu aku tanyai selama ini “Rey, puisi ini untuk siapa?? Cieelah Rey
Rey.... hahaha”, dan ia tak sedikit pun mau menjawab. Hanya dengan kata-kata, “Haha..
nanti juga kamu tau kok Lunaku sayang... hahaha”, tanpa ada sedikit pun rasa
curiga terhadap kedekatanku dengan Glen selama ini. Dan juga betapa bodohnya
aku, yang telah betahun-tahun menjalin persahabatan dengan Reyna, dan kemana
pun ia pergi maka di sana juga lah aku berada, tidak sedikit pun aku bisa
melacak sinyal asmaranya yang mungkin telah ia pancarkan terhadap Glen selama
ini. Glen, ialah kaka kelasku dan ketua osis di sekolah kami, yaitu SMA Taruna
Bangsa. Aku mengenal Glen, dari hasil kerjasama yang terjalin diantara kami
berdua, dari hasil program kerja oleh pihak osis dan jurnalistik sekolah
–dimana aku yang menjadi ketuanya-. Dari sanalah bibit kedekatan kami muncul.
Aku dan Glen, yang selama ini ternyata merasa saling memiliki pandangan yang
cocok diantara satu sama lain, meneruskan kedekatan ini sehingga akhirnya menjadi
suatu hubungan yang agaknya sedikit lebih, meskipun itu belum memiliki status.
Dan selama ini kami selalu menjalinnya di luar lingkungan sekolah, agar jangan
sampai ada satu orang lain pun yang
tahu, setidaknya sampai ada komitmen di antara kami berdua, termasuk kedua
sahabatku.
“Glen”, sapaku,
memulai pembicaraan.
“Ya, ada apa Luna”.
“Sejujurnya saja, aku merasa bersalah.”, lanjutku menatap
lurus ke arah danau.
“Bersalah kenapa..?”, tanyanya.
Kukuatkan mentalku. “Sebenarnya..
aku tidak bisa melanjutkan kedekatan kita ini. Aku tidak bisa, Glen, maaf.. aku
tidak bisa mendustai sahabatku sendiri... aku tidak bisa...”, ucapku, sungguh
sangat merasa bersalah, isak. Mataku mulai memerah, dan aku harus menahan air
mataku.
“Ya, tapi kenapa? Ada apa?”, tanyanya lagi.
“Glen.. aku bersahabat dengan Reyna sudah lebih dari sepuluh
tahun.. dan kini aku tidak bisa seolah menyimpan semua rasa bersalah itu, aku
tidak bisa menghianati sahabat yang sudah seperti saudara kandungku sendiri..
Aku tidak bisa..! dia, Reyna, suka padamu Glen! Ia sangat mengagumimu, dan kamu
sadari itu selama ini nggak sih?!!”, ucapku yang sudah mulai tidak bisa lagi
menahan gejolak emosi. Aku marah, kecewa, bingung, namun tidak tahu oleh siapa.
Aku pun tidak tahu pula harus bagaimana. Oh Tuhan, bencana apa ini? Rencana apa
yang telah Engkau siapkan, di balik semua masalah ini?? Sungguh hatiku
bergejolak, semua rasa bercampur aduk di dalam hatiku.
Semua berhenti sejenak.
“Ya. Aku sadar”, ucapnya, tiba-tiba. “Aku sadar selama ini,
betapa sahabatmu itu menyukaiku, namun kufikir kenapa aku harus menganggapnya?
Kenapa kita harus berfikir pusing? Kan yang aku suka hanya kamu, itu masalah
perasaan, kamu dan sahabatmu meskipun kalian berteman akrab, namun kalian
berdua tetap harus profesional... dan itu adalah hakku, biarkan aku yang
memilih..”, ucapnya tenang.
Apaah?! Seenaknya ia berkata seperti itu. Oke! Aku sadar
memang benar apa pun yang ia katakan, soal perasaan kita memang harus
profesional. Namun tidak pernakah ia rasakan, memiliki sahabat baik, bahkan
sangat akrab, dan hingga akhirnya terjebak cinta segitiga??! semua itu tidak
semudah yang ia katakan! Dan setelah mendengar itu, sungguh... kini aku pun
tahu jawabannya.. “Dan ternyata aku benar, aku benar dengan segala pilihanku.
Aku tahu perkataanmu itu memang benar, namun tidak bisakah kamu menghargai
sedikit saja perasaan sahabatku?! Sadarkah kamu, bahwa aku sangat menyayangi
dia seperti saudaraku sendiri, aku mengenal Reyna, aku mengenalnya sejak dulu
jauh sebelum aku mengenalmu... dan kini kata-katamu semakin menyadarkan aku,
bahwa apa yang aku pilih benarlah sahabatku. Aku jauh lebih memilih dia, dan
bukan kamu.. maaf kak”, sahutku, sangat marah. Aku sungguh kecewa, mendengar
jawabannya yang dimana aku sangat berterima kasih pada Tuhan, setidaknya telah
menunjukan langsung padaku, bahwa disanalah letak kekurangan Glen. Memang
setiap insan diciptakan pasti memilikki kekurangan, namun sungguh aku kecewa.
Kecewa mendengar jawabannya, yang semakin menunjukan siapa dan betapa sangat
tidak dewasanya ia. Keegoisan seorang Glen, ketua osis sekaligus kakak kelas di
sekolahku, orang yang sejatinya sempat aku perebutkan dengan sahabatku selama
ini, meski pun tidak secara langsung dan terang-terangan. Dan kini.. sungguh, aku
menyesal pernah mengenalnya.
ѻѺѻ
Pagi hari saat di kantin sekolah, nafasku sungguh lega. Semua
telah kembali normal kini. Syukurlah Tuhan.. Kau datangkan padaku malaikat
penolong tadi malam. Saat aku berjalan menuju rumah. Hujan, tidak ada kendaraan
atau satu pun taksi yang lewat. Dimana semua situasi itu seoalah semakin
mendukung kesedihanku. Memporak-porandakan perasaanku yang saat itu kian
dilanda perasaan hancur yang selengkap-lengkapnya. Semua kurasakan, penyesalan
yang begitu dalam telah mengenal seorang bajingan seperti Glen, yang selama ini
tak pernah kusangka akan tega meninggalkanku tadi malam di taman sendirian.
Setelah semua kejadian percakapan itu, ia menanyakan satu hal terakhir padaku:
apakah aku akan tetap mengizinkannya untuk terus tetap melanjutkn hubungan
kedekatan ini kepadanya. Dan tentu saja jawabanku adalah tidak! Dan setelah
mendengar jawaban itu, dengan teganya ia meninggalkanku di taman pinggiran
danau itu sendirian. Hujan, sepi, tanpa satu apa pun yang menemani, atau
menyelimuti tubuhku, ia hanya memelukku untuk terakhir kalinya, meskipun
kuyakin Tuhan pun tahu betapa setengah hati aku membiarkan itu terjadi padaku.
Dan setelah itu, ia pergi meninggalkanku.. begitu saja. Oh sungguh, betapa
pengecutnya ia! Dan yang membuatku semakin tersedu menangis malam itu adalah,
kesialanku. Kesialanku pernah mengenal seseorang lelaki bajingan seperti
dirinya, tidak bertanggung jawab, sungguh tidak dewasa. Lelaki yang telah
membuatku menjadi penghianat untuk saudaraku sendiri, sahabat yang sudah
kuanggap sebagai saudara kandungku. Lelaki yang bahkan tidak sedikit pun pantas
untuk diperebutkan, apalagi jika sampai menjadi milik teman terbaikku, Reyna.
Sudah cukup aku sajalah yang tersakiti, sangat cukup untuk menggambarkan
bagaimana sosok lelaki yang sedikit pun tidak pantas untuk seorang seperti
Reyna, sahabatku. Namun kini semua telah tentram, aku bahagia, karena tadi
malam pangeranku datang. Seorang telah datang untuk menjemputku pulang, melindungiku
dari dinginnya basahan air hujan mengguyur deras tubuhku. Ia menghantarku pada
pengharapan yang lebih baik, bahwa sebenarnya aku tidak pernah sendiri selama
ini.
“Kamu kok bisa tahu bahwa tadi malam aku ada di sana..”, tanyaku
pada pangeran itu, saat Reyna sedang memesan makanan meninggalkan meja tempat
makan yang kami singgahi di kantin.
“Tentu. Aku tahu.”, jawabnya tenang. Setenang tatapan matanya
yang kebiruan.
“Mengikutiku selama ini?”, tanyaku lagi.
“Ya. Selalu, selama ini. Namun kemarin aku menyusulmu, karena aku tahu kau mau kemana saat itu.”,
ucapnya.
“Lalu, apa yang harus aku katakan untuk meyakinkan Reyna
bahwa Glen tidak baik untuknya?”, tanyaku.
“Kita lakukan itu sama-sama ya... Buat dia yakin, bahwa
sebagai sahabat ucapanmu itu pasti benar.”, sahutnya, yang tiba-tiba
menggenggam tanganku.
Aku hanya terdiam. Sungguh aku merasa nyaman berada dekat
sisinya. Tak kusangka selama ini yang kucari, ternyata ia selalu berada si
dekatku. Sejak dulu. Dan aku menyayanginya, melebihi apa yang pernah kurasakan
terhadap Glen selama ini.
“Thank you so much, my real best fiend..”, ucapku, meski
dengan setengah hati. Aku tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan dari
apa yang dilakukannya selama ini terhadapku. Meskipun itu sudah terlalu jelas,
sangat berbeda. Dan mungkin, kini itu pula lah yang aku rasakan. Oh sungguh..
aku menyayanginya. Ditya-ku.
“Just best friend? Dont mention it, my soul..”, ucapnya.
Semakin menggenggam tanganku erat.
“Soul ?”, tanyaku kaget. Itu adalah sebutan yang sama dengan
apa yang selama ini Glen sebutkan terhadapku. Dan mengapa kini Ditya yang malah
ikut menyebutkannya untukku?
“Keget ya ? hihi..., you are my soulmate honey, more than
just my soul..”, tawanya lembut.
Hahahahaha, seorang Ditya-ku... Ditya yang sangat kusayangi.
Sebagai sahabatku... atau, mungkin lebih.. sangat lebih. Hahaha, bisa juga ia
meledekku........
≈Sekian≈
Created by : Cut Falah N.R.
ini adalah cerita yang aku buat saat SMP dulu ( kurang lebih 5-6 tahun yang lalu ^^)
untuk mengetahuiku lebih kunjungi blog-ku di : cutfalah.blogspot.com
atau via twitter @CutFalahNR
see you ^_^