“Guardian Angel”
Aangin
pagi yang masuk dari jendela di sudut ruangan, begitu dingin menusuk hinnga ke
tulang kakiku. Padahal tubuhku ini sudah terbalut oleh selimut yang begitu
tebal, bermotifkan garis-garis vertikal berwarna biru muda. Kepalaku masih saja
berat, begitu juga kelopak mataku, sangat sulit untuk kubuka jika tidak karena
terpaksa. Semuanya masih seperti biasa, suasana hanyut dalam keheningan. Begitu
sunyi. Suasana yang begitu aman, nyaman, namun tetap saja membuatkuku dan siapa
pun tidak senang berlama-lama berada di sini. Rasanya ingin aku pulang saja,
jika memang bisa... dan, diperbolehkan. Pagi ini nampak ada yang berbeda. Bukan
suasana kamar tempatku terbaring yang setiap harinya sesak dipenuhi bungan
violet berwarna ungu kiriman Papah dan Mamah. Bukan pula motif gambar baju
tidur yang kukenakan, berwarna ungu polos sesuai dengan warna kesukaanku, bukan
itu yang berbeda. Tetapi nampaknya ada sesorang yang telah menungguku sejak
tadi. Seseorang yang sangat aku sayangi, seseorang yang memang kehadirannya
selama ini benar-benar selalu kuharapkan.
“Selena... bagaimana
keadaanmu, sayang?? Sejak kemarin Ibu ke sini terus, kamu masih koma, belum
sadar. Ibu khawatir nak... jangan diulangi lagi ya sayang... kamu benar-benar
membuat kita semua khawatir”, ucapnya lembut, mengecup keningku. Suara itu,
sudah sangat kukenal, selama bertahun-tahun, seumur hidupku. Ia sudah seperti
sebagai ibu pengganti untukku, di saat aku membutuhkan kasih sayang itu, Bu
Ratmo lah yang selalu ada di sisiku. Bu Ratmo melanjutkan aktifitas yang dimana
sudah beberapa hari ini tidak lagi kurasakan, menyuapiku dengan sarapan ala rumah
sakit yang tidak pernah kusukai ini.
“Ibu ke sini dengan siapa?”, tanyaku.
“Bapak. Pak Ratmo”
Pak Ratmo adalah suami Bu Ratmo, dan aku memanggilnya dengan
sebutan Bapak. Bapak adalah supir yang bekerja kurang lebih sudah sekitar 20
tahun di rumahku, semenjak jauh dari sebelum aku dilahirkan. Dan lalu beberapa
tahun kemudian, istrinya Bu Ratmo lah yang akhirnya ikut bekerja di rumah, dan
menjadi orang kepercayaan dimana Papah dan Mamah bisa memepercayakan
seleuruhnya kepada mereka, termasuk segala apa pun yang berhubungan denganku.
Pernah seorang temanku sempat menyangka bahwa Bapak dan Ibu adalah kedua orang
tuaku, karena mereka lah yang selalu ada kapan dan ke mana pun aku pergi dan
beraktifitas.Wajar saja, jika semua orang beranggapan seperti itu karena selama
ini merekalah yang menjemputku untuk berangakat, menghantarkanku pulang dari
sekolah, menemaniku dalam acara-acara sekolah, bahkan yang cukup menyedihkan...
sampai pada permasalahan mengambil rapor sekolahku.
“Hmm. Bu.... Ivan..., dimana Bu ?”, tanyaku.
“Ivan? Ivan entahlah kemana dia Na.. sudah beberapa hari ini
ia tidak pulang. Sudah sekitar dua minggu lebih...”, sahutnya cemas.
Jujur, aku merasa sangat kesepian, tanpa Ivan, tanpanya.
Seumur hidupku, sejak usiaku masih mengunjak 1 tahun pun, di mana ada aku, maka
di situ pula lah selalu ada Ivan. Ivan, dia adalah anak Ibu dan Bapak Ratmo. Ialah
temanku sejak aku kecil, 17 tahun selalu bersama denganku, semenjak Bapak dan
Ibu Ratmo bekerja, dan memilikki satu-satunya anak mereka, yang kebetulan 2
tahun lebih dahulu kelahirannya dari padaku itu, kami berdua pun tidak pernah
terpisahkan. Namun sayangnya, akhir-akhir ini lah kami pun mulai terpisahkan.
Lebih tepatnya, dipisahkan. Kami yang sejak dulu selalu bersama, kemana pun aku
pergi dan berada, Papahku tidak suka melihatnya. Ia bilang, tidak ingin bahwa
ada perasaan lain yang bersemi diantara kami berdua, melebihi dari sekedar
persahabatan. Dan Mamahku juga bilang, bahwa ia sangat takut bahwasannya aku
memiliki perasaan yang lain terhadap Ivan, sama takutnya ketika kekhawatirannya
menuju pada Ivan yang spertinya juga sudah menganggapku lebih dari sekedar
teman atau adik yang selama ini dijaga dan dilindunginya. Sungguh suatu
ketakutan yang berlebihan, tidak pantas, dan terlalu diada-adakan. Bilang
saja.. sebutlah, bahwa mereka memang tidak pernah ingin melihat aku sebagai
anaknya bahagia. Ia merasa, aku tidak pantas terlalu berdekatan dengan anak
Bapak dan Ibu Ratmo, yang dianggap tidak seatu level dengan kita semua. Kita
siapa? Biar mereka orang tuaku saja!
Karena sesungguhnya aku tidak pernah sedikit pun merasa berbeda dengan Bapak
dan Ibu yang kucinta, mereka semua. Entah apa maksudnya, yang jelas Papah
memang hanya bisa merebut segalanya dariku, segala kebahagiaan yang aku
milikki. Tidak pernah ia berfikir sedikit pun bahwa setelah merebut seluruh
kebahagiaan itu, ia bahkan tidak akan pernah mau menggantinya atau bahkan
mengembalikannya sedikit pun! Itulah orang yang selama ini menyedihkannya,
secara status harus aku sebut sebagai “orang tua” kandungku.
⃰•⃰⃰•⃰•⃰
Malam ini masih begitu dingin. Selain karena hujan deras
membasahi seluruh gedung di luar ruangan rumah sakit ini, jendela kamar
tempatku dirawat pun dipenuhi tetesan-tetesan embun yang seolah penuh tak
memberikan ruang bernafas untuk udara. Syukurlah, alam malam ini bernuansa
begitu sunyi dan syahdu, sungguh melelapkan setiap tubuh yang terlelahkan.
Namun sayangnya, untuk orang spertiku yang sejak tadinya hanya dapat tidur dan
terus terbaring di ruang rumah sakit yang mungkin dibayar mahal oleh Papahku
ini, aku pun kini hanya bisa terus melanjutkan satu-satunya aktifitas yang
selalu aku lakukan sejak pertama kali aku mulai masuk ke dalam rumah sakit ini.
Ya, menghirup oksigen dari alat bantu pernafasan yang cukup membuatku sesak.
Tidak enak, karena kesesakan ini kurasakan dengan tambahan kehampaan tanpa
adanya dia selalu ada untukku, Ivan. Namun kini, entah ia di mana, berada di
manakah seseorang yang selama ini selalu melindungiku, di mana pun aku berada?
Berada dimanakah ia, seorang yang selama ini selalu mewarnai setiap detik-detik
perubahan yang terjadi dalam seumur hidupku? Di manakah dirimu, Ivan? Tidakkah
kamu tahu, bahwa aku di sini, terbaring lemah memikirkanmu setiap saat,
berharap kau datang, berharap kau, menemuiku melupakan semua tragedi pengusiran
Papah terhadapmu yang saat itu sedang datang ke rumah sakit ini berniat untuk
menjengukku sekitar satu bulan yang lalu? Berharap aksi bunuh diriku yang
kulakukan akibat kejenuhan yang kurasakan karena semua penyakit parah ini,
menggerogotiku secara terus-menerus dan perlahan akan mulai membunuhku,
kulakukan semua aksi ini beberapa minggu
yang lalu, adalah agar menjadi satu-satunya alasan untuk kau bisa datang
melihat kedaanku, setelah selama kurang lebih kita terpisahkan meski pun itu baru sekitar 1 bulan
saja? Namu bagiku iti tidak sebentar, bagiku itu sungguh lama tanpamu. Kemana
kau Ivan? Kemana kau sahabatku? Sahabat sejatiku. Manakah janjimu, yang akan
terus menjagaku sepanjang hidupku? Manakah janjimu yang akan terus menjadi
pelindung diseumur hiduku? Kemanakah janjimu, yang selalu meyakinkanku bahwa
kau akan selalu ada dimana pun aku berada, tidak peduli sejauh apa pun jarak
dan keadaan yang memisahkan kita?? Dimana kau sahabatku?? Apakah kau lupa
janjimu?? Besok pagi adalah hari jadwal operasiku, syukurnya dokter telah
menemukan donor yang tepat untukku. Entah siapa orang yang begitu baiknya, rela
memberikan satu-satunya kesempatan yang hanya Tuhan berikan satu untuk setiap
manusia, tak ada cadangan, tak ada duanya. Entah siapa orang yang sungguh
sangat baik itu, namun pihak rumah sakit pun pasti memegang janji dan
komitmennya untuk merahasiakan setiap arsip pihak pendonornya, kecuali jika
memang ada pesan khusus dari pihak pendonor untuk pemberitahuannya. Dan itulah
yang kuharap, engkau hadir untuk menyaksikan saat-saat penentuan berhasil atau tidaknya
proses operasiku ini. Kuharap, ingin sekali kau yang ada di sampingku, ikut
mendoakan keberhasilan proses pembedahan jantungku. Kau memberiku semangat,
membantuku mencari siapa sesungguhnya relawan yang begitu dermawannya merelakan
jantungnya ini untukku, kita bisa mencarinya sama sama, mencari tahu, setelah
keberhasilan operasiku itu besok. Dan, harapanku yang terakhir Ivan, di mana
pun kau berada... di luar sana. Aku berharap kau baik-baik saja, dan..
sempatkanlah dirimu, sejenak saja..... untuk datang.
⃰•⃰⃰•⃰•⃰
Pagi hari ini aku terbangun, ternyata sudah 14 jam aku koma
semenjak operasi jantung baruku. Syukurlah... Tuhan begitu baik... sangat baik.
Ia masih memberikanku kesempatan hidup untuk yang kedua kalinya, bahkan setelah
aku melakukan aksi bunuh diri yang semakin memperparah kesehatan jantung ‘lama’ku.
Kini aku hidup dengan jantung baru, harapan baru. Begitu senangnya, karena
lagi-lagi Tuhan menunjukan betapa besar kasih sayang-Nya untukku, kasih sayang
dengan membiarkanku berbahagia memiliki jantung dari orang yang pastinya begitu
baik hati mendonorkan suatu anggota terpenting, termahal –tidak dapat
ditukarkan dengan segala sesuatu apa pun-, dan yang paling penting adalah suatu anggota bagian tubuh yang begitu dan
paling sulit dicari pendonornya itu. Ya Tuhan, siapa pun ia, izinkanlah aku
untuk mengetahuinya, setidaknya untuk menununjukan rasa terimakasihku yang tak
terduga ini, jikalau memang masih ada sekeluarga atau sanak saudara yang
ditinggalkannya. Entah keluarganya mengetahui atau tidak, namun siapa pun
mereka yang menjadi keluarga dari pendonor jantungku ini, mereka harus tahu
bahwa selama ini telah memiliki salah satu anggota saudara yang sungguh, begitu
mulianya ini..
Hari ini aku
benar-benar sungguh bahagia, sesadarnya aku dari 14 jam koma paska
keberhasilan operasi jantungku ini, hadirlah di sini Papah dan Mamah, serta
semua orang yang menanyakan kondisiku, kami becengkarama, tertawa, dan sungguh
bahagia. Namun seperti yang telah kuduga, dan yang paling aku takutkan, kini
telah terjadi... di mana kebahagiaan ini, kurasakan tanpa sepenuhnya
kelengkapan dari semua orang yang kusayangi yang telah berkumpul. Kebahagiaan
ini sungguh tidak lengkap, pastilah karena satu orang. Satu orang yang teramat
sangat kusayangi, kurindukan, kuharapkan kehadirannya... namun sampai pada
detik ini, ia masih belum sudi untuk datang dan bertemu denganku juga.. Dear
sahabatku, Ivan... dimanakah kamu????
Ibuku,
Bu Ratmo, tak lama kemudian datang ke sisiku memeluk dan membawakanku satu
rangkaian bingkisan bunga violet berwarna ungu, kesukaanku. Dari pihak rumah
sakit katanya? Dan aku pun langsung membuka amplop surat berwarna putih resmi
itu, di dalamnya berisikan surat, dan entah mengapa, jantungku berdegup kencang
membukanya.
“untuk Gadisku tercinta, Selena...
Maaf karena aku terlambat mengucapkannya. Selamat atas keberhasilan
opersi jantungmu saat ini. Kamu sukai bunganya? Huhh.. Padahal aku sudah
sesusah payah mungkin memilihnya, kupilihkan yang terindah, namun sayang...
maaf sekali karena hingga sampai pada detik ini, aku belum pernah bisa sedikit
pun berhasil menemukan bunga yang setidaknya sama indahnya sepert dirimu...
kubawakan ini, karena kurasa bunga inilah yang paling pantas untumu, atau
setidaknya yang paling engkau sukai. Benarkah ?
Dirimu itu indah, Selena, dan berjanjilah
padaku, bahwa kau akan selalu menjaga keindahan itu sampai akhir hayatmu. Akhir
hayat yang Tuham tentukan, bukan yang kau tentukan. Karena pada saat kau
membaca suratku ini, mungkin ini adalah suratku terakhir yang bisa, dan sanggup
aku berikan... karena kini aku sudah tidak ada, terlanjur pergi jauh dari
sisimu. Namun jangan khawatir
sayang, masih selalu
dan sama seperti dahulu. Aku akan tetap selalu berada di sisimu. Aku akn selalu
tepati janjiku untuk menemanimu, sampai kapan pun, menjagamu, mengawasimu di
setiap aktifitas detak jantungmu. Percayakah kau, bahwa selama ini aku selalu
mengawasimu? Meskipun kini, ragaku telah tiada. Namun aku berjanji akan selalu
menepati janjiku... mewarnai setiap harimu dengan adaku yang mungkin kini
semakin dekat denganmu. Ikut mmbantumu untuk terus bernafas, untuk semakin
menyadari bahwa hidup ini terlalu sayang dan indah jika kau akhiri.
Aku di sana selalu bersamamu, bahkan seorang Papah dan
Mamahmu pun kini, takkan pernah bisa memisahkan kita. Aku bahagia jika melihat
kau bahagia, Selena. Aku sehat jika melihatmu sehat. Aku di sana selalu
bersamamu, ikut berada di mana pun kau berada... jagalah jantungku Selena...
jantungku yang kini telah menjadi jantung kita, milik kita... berajnjilah??
Jaglah jantung ini, bersama dengan kau menjaga rahasia ini. Biarkanlah orang
tuaku mengetahui kenyataan ini sendiri, mereka pun pasti bisa merelakan
kepergianku jika ini semua untuk selalu menjaga kau yang juga sudah sangat
dianggap seperti anak kandung mereka sendiri. Berjanjilah, sayang....
berjanjilah.. aku yang selama ini mencintaimu, menyadari akan habitat dimama
selama ini seharusnya aku berada, bukan di dekatmu. Memang kita bukanlah
berasal dari keluarga yang sama, namu kini... dengan cara seperti inilah, aku
bisa dapat terus menjagamu, mencintaimu, bersamamu sampai akhir hayatmu. Taidak
ada Mamah, Papahmu, jarak, waktu, atau bahkan ‘derajat’, yang kini memisahkan
kita... sekali lagi aku meminta maaf.. maaf karena takkan pernah bisalah aku,
untuk berhenti mencintaimu, selamanya... I
will be true to you, always be your guardian
angel honey.. Love you, always. Forever. Salam sayang, hangat, peluk,
cium, dan rinduku selamanya untukmu....
kakak, sahabat, ‘kekasihmu’
tercinta
Kafka
Ivan Putra Ratmono.”
“ASTAGAA!!!!!!!!!!”,
Membaca itu, nafasku begitu sesak.. jantungku begitu sakit, dan kali ini tak
terkira. Seluruh rangkaian bunga itu jatuh dan tumpah dari tanganku. Semua
orang memanggil-manggil namaku dan kini aku sudah tidak memilikki kekuatan
sedikit pun untuk menjawabnya. Mereka semua mulai mengerubungiku namun aku tak
dapat menyadari apa pun. Mataku kembali gelap, benar-benar gelap.... dan yang
teringat.. hanyalah bayangan sosok sesorang pengirim surat itu, oh....,
‘Guardian Angelku’ .........
≈Sekian≈
Created By: Cut Falah N.R.
hahaha thanks ya bagi kamu yang sudah baca,
maaf banget kalau tulisan ini terkesan 'cemen' atau mudah ketebak untukmu
ini masih dalam sesi mempublikasikan koleksi tulisan tulisan lama yang saya miliki,
anyway tetap terimakasiih sebanyak banyaknya
karena kamu sudah mau meluangkan waktu untuk membaca cerpen ini, mau pun yang sebelumnya
jangan nyeseel yaa, tunggu lagi koleksi selanjutnya ^^
bye.
@CutFalahNR (twitter)
cutfalahnr@yahoo.com
fafacfnr@gmail.com
cutfalah.blogspot.com
<3