“Bubur Cinta, Emak”
Pagi ini kabut begitu menggigit. Dinginnya luar biasa,
menghantar keseluruh tubuhku lewat jendela, meski telah tertutup rapat.
Embunnya terasa hingga sampai ke tulang kaki, padahal telah kubalut dengan
selimut tebal buatan emak. Lagi-lagi semua serba bunga, selalu bermotif bunga.
Aku seolah seperti merasakan kejadian ‘deja
vu’ yang pernah kualami sama seperti ini sebelumnya. Selalu, bahkan setiap
hari. Suasana seperti ini lah yang selalu aku dapatkan ketika hendak membuka
mata dari tidurku yang lelap, padahal aku selalu berharap semuanya berubah
sesuai dengan seperti apa yang aku impikan.
Suasana di dalam rumah bermotifkan bunga semua, bahkan sampai kamar,
kamar mandi, dan dapur pun penuh dengan bunga serta wewangi-wangiannya yang
sudah membuatku penat setiap harinya. Semakin lama, semakin hari, aku semakin
ingin muntah saja tinggal di sini.
Tinggal di tempat yang terbilang kumuh atau ‘sangat sederhana’ ini membuatku mabuk,
ingin mencari udara kebebasan hidup yang enak dan terjamin di luar sana. Aku
haus akan hal itu, aku lelah, bosan hidup berdua dengan seorang emak di losmen
tua yang kusam ini. Apartemen bintang -5 (minus lima), lebih tepat untuk aku
mengistilahkannya. Orang tua dengan modal cekot, namun tetap ingin tinggal di
rumahnya sendiri yang ia milikki, dan tak mampu membeli tanah layaknya seperti
di perumahan-perumahan normal, maka akhirnya jalan inilah yang ia cari.
Kenyataan yang mengharuskan itu semua sebagai jalan keluar dan menjadi solusi
bagi keluarga kami. Kehidupan. Lagi-lagi kata-kata kehidupan yang selalu
menjadi alasan dari semua kemelaratan ini. “Yah Ndo’...., namanya juga
kehidupan toh, Ndo’....”, itulah yang selalu emak tua itu bilang. Ia berucap seolah seperti orang kolot yang
hanya memperdulikan kehidupan akhiratnya nanti, sehingga berimbas pada
kehidupan anakanya di dunia yang melarat seperti ini. “ Ahh... kalau aku jadi
model kelak, akan kulempar dia....”, itu fikirku selalu.
Aku
Jasmine, anak seorang blasteran Indo-Belanda, yang masih heran akan silsilah
ke-Indo an ku. Yeah, bagaimana tidak heran? Lantas aneh saja jika mengingat
bagaimana bapak mau menikahi seorang gadis ‘deso’ yang mukannya terlalu banyak
‘duanya’, alias ‘duplikatnya’. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, adalah, aku
harus menyadari bahwa emak itu sebenarnya adalah ibu kandungku?! Ah!! Aku benci
jika harus terus selalu mengingat tentang hal itu. Karena memang itulah
kenyataannya, pahit memang. Bahkan sangat pahit! Namun mau bagaimana lagi? Di
saat bapak sudah pergi ke rumah tuhan sejak lima tahun silam, aku dan si ‘Emak’
tua itu kini hanya tinggal berdua. Dan dialah memang, yang membiayai seluruh
jenis kebutuhanku dengan membuka uasaha toko bunga. Yeah, meskipun dengan hasil
yang pas-pas an, atau bahkan, sangat terbilang kurang untuk ukuran hidup
seorang gadis cantik yang seharusnya tampil elegant dan modis sepertiku. Itulah
sebabnya aku sangat membenci ‘emak’ dengan berbagai macam jenis alasannya.
Memang sih, dia sangat baik. Berhati lembut, but please, don’t call me her
daugther again! mual aku mendengarnya.
Jarum
jam menunjukkan pukul 07.00. masih terbilang pagi, dan emak pasti masih membuat
sarapan di bawah. Aku turun mengenakan seragam putih abu-abu lengkap dan dengan
membawa tas sekolah, tanda siap untuk
berangkat.
“Ndo’....”,
tegur emak.
“Hmm.”,
jawabku, agak bermalas-malasan.
“Kamu
mau kemana toh?.... ndak makan dulu, iki mak buatin bubur kacang ijo, katanya
kemarin mau bubur kacang ijo??”, tanyanya menghadap kearahku, padahal ia sedang
mengaduk terus masakannya di dalam panci berukuran besar itu.
“iya
entar”
“Loh
ko?... ini loh... dimakan dulu toh Ndo....... wong emak udah buatin, enak toh
dimakan panas-panas.......”, sambil menuangkannya ke dalam mangkuk berukuran
besar. “Nih dimakan yo, biar sehat pagi-pagi makan bubur kacang hiaju..... kan
enak, ntar badanmu hangat pas sampai sekolah...”, ia menyodorkan mangkuk itu
dengan senyum lebarnya.
Aku
yang sedang meneguk segelas teh agak geram dibuatnya, terlalu cerewet mahluk
ini rupanya. “Emak ngapain sih! Tadi kan aku udah bilang makannya ntar aja!
Kenapa sih!! Aku pengen berangkat sekolah dulu mak, ngerti ga sih!!”, ucapku
kesal, sambil membanting gelas yang berisikan teh itu.
Emak
terkaget-kaget melihat responku. Munkgin dia berfikir, ada yang berbeda dengan
sikap ku akhir-akhir ini. Semenjak hari pertamaku memasuki sekolah SMA baruku.
Dan ia hanya terdiam. Sempat aku berfikir, bahwa ia akan marah. Namun ternyata,
tidak. Emak hanya berbalik badan, dan menuang bubur di dalam mangkuk itu ke
dalam suatu plastik berwarna bening. Lalu ia ikat ujungnya, dan berbelok ke
arahku.
“Yasudah Ndo’.... kalau tidak mau dimakan
sekarang yoo wess, ono opo-opo (tidak apa-apa). Yang penting kan kemaren kamu
bilang mau, emak sudah buatkan. Sekarang Ndo berangkat saja sekolah dulu,
nah.... dan ini.... bubur kacang hijaunya dibawa saja... buat bekal di
sekolah......”, ucapnya sambil memberikan sebungkus pelastik itu kepadaku.
Dan
aku hanya terdiam. Hanya bisa terdiam. Aku tak sanggup lagi berbuat apa-apa,
selain mengambil apa yang telah diberikannya itu kepadaku. Lalu aku
memasukkannya ke dalam tas, menaruhnya di tempat yang paling aman. Ada sedikit
perasaan disana, bahwa aku tidak ingin pelastik itu, beserta dengan isinya
tumpah. Seolah tidak ingin kehilangan apa yang berada di dalamnya, dan kesan
pertama tadi saat si oramg tersebut memberikan pemberian tersayangnya. Dan aku
pun berjalan menuju ke arah pintu depan, lalu kini berlalu keluar dari rumah
itu. Sepasang mata itu masih terpana melihatku tadi. Entah apa yang ia rasakan
di sana, namun seolah ada kekecewaan tersirat dari kedua tatap mata yang dimana
dapat kulihat, bahwa air matanya sedikit mulai menggenang di situ. Pasti ada
keheranan yang ia fikirkan, mengapa anak yang dahulunya ia sayangi dengan
sebegitu tulusnya, kini berubah menjadi senjata makan tuan yang menelan dirinya
dan segenap kasih sayangnya selama ini ia berikan. Anaknya, yang dulu kian lucu
ia timang, menjadi ganas tak tertahankan, berubah, dan seperti seolah ia tidak
mengenalnya lagi. Dan percaya atau tidak, di sini aku pun mulai merasakan hal
yang sama. Namun, “Ahhhh!.....”, aku tepis hal itu. Aku tidak boleh merasa
kasihan. Aku tidak boleh mulai iba lagi kepadanya, dan tidak boleh mulai
kembali lagi menyayanginya sama seperti dulu, saat bapak masih ada. Tidak,
tidak boleh. Takkan aku biarkan hal itu kembali lagi. Karena, untuk apa aku
menyayanginya? Untuk apa aku merasa kasihan kepadanya?? Apakah dia saja merasa
kasihan kepadaku? Buktinya saja seperti saat ini, ia seolah tidak pedulidan
tidak merasa bersalah atas kejadian diejeknya aku oleh teman sepermainanku
karena dianggap kurang stylish lagi seperti waktu dulu. Dulu memang disaat
bapak masih ada, semua berbeda. Aku bahagia, aku bisa hidup makmur, dan hidup
sejahterah. Tidak seperti sekarang ini, bahkan teman-teman baikku sudah
meninggalkanku. Semua memang karena keadaanku saat ini! karena emak tua itu!
Huh. Liahat saja nanti, akan kubalas dia.
Sesampainya
aku di kelas, kufikir usai sudah renunganku itu. Tak lama kemudian bel masuk
pun berbunyi, dan seperti biasa, Alicia anak gaul kelas kakap itu datang
melewati bangkuku bersama teman-teman sekelompok nya. Sepertinya, ia melihat
apa yang baru saja aku letakkan di atas meja tadi.
“Uuu....
hai Jasmine........, hahahahahaah”, sapanya sambil tertawa-tawa. Menurutku,
layaknya itu lebih pantas untuk disebut sebagai ejekkan.
“Yeah,
kenapa lice (alice)...?”, sahutku dengan nada suara angkuh.
“Istirahat,
pasti ada waktu kan, hmm??”, tanyanya lebih angkuh, sambil mendudukkan dirinya
di meja hadapanku.
“Langsung
aja deh, kenapa??!”, tanyaku yang sudah mulai kesal melihat posisi duduknya
saat itu yang berada tinggi tepat di hadapanku.
“Wuuuuuu....,
ada yang marah............., hahahahahah”, ledeknya sambil melirik ke arah
teman-temannya, dan teman-teman ‘centil’ nya itu pun membalas tertawa. “Rupanya
ada yang keberatan kalau gue duduk di sini deh temen-temen.........hahaahahaha,
ni nih, si ‘bukin’, bule miskin.......hahahahaha, kayanya nggak suka banget
kalau gue duduk di depannya dia.... lebih tinggi lagi posisinya.....hahahaha”,
ejeknya, yang diikuti tawa teman-temannya. Ia terus saja menghinaku sambil ikut
memainkan rambut panjang lurus miliknya, dan itulah yang selalu membuatku iri
hati dengannya, sejak dulu masa pertemanan kami.
“Heh!!
Uda deh, langsung aja, sebenarnya mau
loe itu apa??!!”, sahutku berdiri mendorongnya. Rupanya amarahku sudah
mulai sulit untuk diredam.
“Wowowowo.....
tatutttt, hahahahaha”, ledeknya.
Saat
itu Alice maju satu langkah, dan kini wajahnya tepat berada di hadapanku. Dan
kami berdua, benar-benar sama persis tingginya. Tak kurang atau lebih sedikit
pun. Itu yang membuatku semakin kian sering disebut-sebut sebagai kembarannya.
“Loe mau tau, mau gue apa???! Hah?!!!!!”, tanyanya
dengan tatapan mata yang sangat sinis. Ada sesuatu aura kelicikan yang
kurasakan di dalamnya. Dan aku yakin, kali ini ia mulai serius.
“Yeah.
Apa???”, tantangku.
Tiba-tiba
suara sunyi sejenak. Antara aku dan Alice, kami berdua saling bertatapan. Semua
teman sekelas kami hanya bisa terdiam menyaksikan adegan kami ini. Seolah ada
sesuatu yang mereka tunggu-tunggu sesudahnya.
“Jauhin
Jason!”, ucap Alice singkat. Namun ia masih menatapku lekat-lekat.
Aku
yang sejak tadi terdiam, hanya tersentak kaget mendengarnya. Aku benar-benar
bingung.
“Ah??
Maksudnya??”, tanyaku.
“Ini
yang paling gue benci!! Jangan pura-pura nggak tau deh loe!!!”, ucap Alice
dengan penuh kemarahan.
“Pura-pura
nggak tau apaan sih! Gue emang bener-bener nggak tau!! Tau apa gue tentang
Jason! Deket aja nggak!! Mikir deh!!!”, sahutku mebalas amarahnya.
“Dasar
ya susah banget dikasih tau!!!, jangan kecentilan deh loe!!! Loe pake susuk apa
sih sampe cowok gue jadi suka banget sama lw!!!!!!!!!”
Aku
bingung. Dan semakin terdiam atas kata-kata Alice. Maksudnya apa?? Kapan aku
pernah dekat-dekat dengan lelakinya itu?!
Dan tiba-tiba.............. “TPAAKK!!”, suara
keras itu mengguncang seisi kelas. “Pinter ya loe! Asal loe tau ya Jasmine, bokap
loe itu gue yang bunuh, PUASS!!! Gue suruh bokap gue untuk incer bokap loe di
perusahaannya, dan lw liat kan sekarang yang terjadi........ bokap loe mati!
Dan kalau itu nggak mau lagi loe rasain pada tubuh nyokap yang lebih mirip
sebagai pembantu loe itu, jauhin Jason!!!!!!!!! ”
Semua
anak diam terpaku, dan aku hanya bisa merasakan ada sesuatu yang sakit, dan
panas merengkuh di pipiku. Dan ternyata, ada yang lebih menyakitkan di dalam
sini, jauh di lubuh hatiku. Di dasarnya, kurasa sesuatu yang tlah kudengar
barusan tlah merapuhkan sebagiannya Astagfirullahalazhim... Dan tak lama
kemudian, disusul dengan keluarnya secercik darah yang mengalir dari bibirku.
Aku
pun maju satu langkah, aku mendorongnya. Alice telah menamparku! Dan aku tidak
bisa terima ini!!!! aku marah, dan benar-benar mengeluarkan hasrat emosi jiwa
yang menggelora!!! Air mataku mulai bebas berkeliaran, tanpa ada sedikit pun
pengaturan ke arah mana ia akan dijatuhkan. Tubuhku bergetar mendengar
perkataan Alice. Bisa-bisanya ia melakukkan itu semua padaku dan keluargaku
selama ini. Pantas saja, semua seperti ada yang mengganjal di balik dari
tragedi kemeninggalan bapak. Sempat teringat di benakku, bagaimana pada saat
awal pertama emak menangisi kepergian bapak, emak menangisi semua ini. betapa sakit
hatinya, dan itu pasti terlihat dengan sangat dan cukup jelas. Semua orang yang
menghadiri proses pemakaman bapak pun pasti mengetahui hal itu. semua menjadi
saksi, bahkan tanah liat kuburan bapak tempat bapak dimakamkan pun ikut
berperan sebagai saksi bisu tempat berjatuhannya ratusan liter air mata emak.
Dan jujur, aku sayang mereka berdua. Aku sayang bapak, aku sangat menyayangi
emak. Dan aku pun ikut iba melihatnya. Aku tak sanggup saat kejadian itu.
Kenangan itu terlintas lagi di benakku, menjadi batang yang semakin memperkuat
alasan kebencianku dengan Alice selama ini. Seakan semua nuansa ilmu etika
agama telah kuingkarkan hari ini, dan aku telah mendustainya.
Namun
sejenak, saat aku ingin membalasnya, semua seolah seperti tertutup bagiku. Aku
tak memilki lagi sedikit pun kesempatan untuk mengeluarkannya, mininal untuk
membalasnya. Tiba-tiba guruku datang, dan melerai kami semua. Alice dibawa
mundur oleh teman-temannya, dan begitu juga denganku. Namun dari jauh Alice
masih sempat melemparkan sesuatu kearahku, ia melemparkan sesuatu yang ternyata
sejak tadi ia genggam diluar kesadaranku. Dan ia ambil millikku itu yang paling
berharga. Ia lemparkan ke arahku sebuah benda berkantung pelastik bening, yang
sepertinya sudah sangat kukenal rupanya. Ia menumpahkannya ke wajahku dari
kejauhan, hingga akhirnya pecahlah bubur kacang hijau pemberian emak tadi pagi
itu. bubur yang di mana tercampur adegan kasih sayang seorang ibu dan
penghianatn seorang anak di dalamnya. Bagaikan air susu di balaa air tuba, oh
teganya aku! AKU MARAH!!!!!!! DAN AKU TIDAK BISA TERIMA!!!! Entah mengapa,
melihat itu semakin menyulut emosiku!!!!!!!! Yeah memang itu berharga bagiku!
Memang benda itu sangat berarti bagiku!!! Dan kini aku sudah tidak malu lagi
mengakuinya!!! Takkan pernah kuulangi lagi penepisan perasaan yang
kurasakan!!!!! Aku pun berlari keluar jauhh dari ruangan terkutuk itu. dan
terus berlari, hanya dengan membawa setengah bungkus bubur kacang hijau yang
masih tersisa buatan emak tadi, dan bubur itu akan terus aman di dalam
genggamanku. Yang aku fikirkan sekarang, adalah bagaimana caranya aku pulang
dengan selamat dan menemui sesosok mahluk indah yang pernah kumiliki, yang
selalu kurasakan dekapan kasih sayangnya. Ia adalah malaikat yang turun dari
langit, malaikat yang jiwanya ingin aku peluk. Malaikat pertama dan terakhir
pemilik hatiku. Ialah malaikat penolong. Ingin aku pulang merengkuh di kakinya,
biar kucium semua haru surga di jemari telunjuk kakinya itu. ialah malaikat
yang tuhan titipkan untukku. Untuk kujaga perasaannya, untuk kujunjung tinggi
martabat dan kemulaiaannya. Malaikat yang harus kusayangi ‘tiga banding satu’
dari seorang bapak baik yang aku milikki. Dialah malaikat ‘desa’, mlaikat yang
masih sangat terjaga kemurnian dan kesucian tulus cintanya. Akulah anak
durhaka. Tuhan sangat pantas menghardikku. Aku telah menzhalimi mahluk-Mu yang
terindah, ya Allah.........ampunilah aku.......... berilah aku
waktu...............
Sesampainya
aku di rumah, aku melihat ibu sedang terbaring di sofa, menoleh ke arahku. Ia
mungkin sangat bingung, mengapa secepat itu aku sudah pulang. Ia membelaiku,
memelukku.......
“Mak......
m....mm....,mma...,maafkan Jasmine, makk.............”, tangisku dengan suara
terisak-isak memeluknya.
“Nopo
toh Ndo’.............”, tanyanya keheranan melihatku menangis. Ia pun sampil
terus memelukku di pangkuannya.
“Ja.........Jas........Jasmine
salah mak,........a.......a.....aku, aku.......”
“Shuuuut.............,
sudah Jasmine...................., sudah-sudah............”, belum selesai aku
bicara emak sudah memotongnya. “Kenapa??..... bubur’e tumpah yo?........Yoo
wess Ndo’ ........ono opo-opo...................., emak kan sudah buat banyak
untuk kamu.............., masih banyak Ndo’........., masih banyak di
belakang..........., satu panci kok, ndak usah khawatir............”, ucapnya
sambil memelukku lagi.
Aku
heran mendengarnya. Mengapa Emak berbicara demikian???.... oh sungguh, begitu
baik dirinya!! Ia berbicara begitu polos pasti karena kelembutan hatinya yang
membuat ia selalu tulus mengahadapi anaknya yang bahkan tidak tahu diri
sepertiku ini! Ia pasti berfikir, bahwa aku menangis semata-mata bukanlah
karena semua ini, -dari mulai kemeninggalan bapak, sampai pada kemiskinan kami
yang disebabkan hanyalah akibat dari kesalahanku, setidaknya hanya karena teman
yang aku fikir selama ini amatlah baik dan bahkan selama ini aku bela melebihi
dari dirinya, ibuku sendiri-, namun ia pasti berfikir bahwa aku menangis dan
meminta maaf dengannya hanya dikarenakan bubur kacang hijau buatannya yang ia
buatkan khusus untuk aku anak kesayangannya, hanya dikarenakan bubur itu
tumpah. Oh sungguh, betapa baiknya hati Emak!!! Tak kusadari bahwa ternyata
selama ini kumiliki ibu yang luar biasa seperti Emak. Betapa menyesalnya aku,
ya Tuhan.... selama ini telah kusia-siakannya dia. Emak, Emakku tercinta. Mendengar itu, melihatmu aku sangat bahagia.
Bahkan tambah bahagia. Aku semakin bahagia, dialah Emakku tercinta! AKU BANGGA
PUNYA EMAK..... Aku cinta padamu, Mak. Juga cinta pada buburmu yang hangat,
enak, mengenyangkan dan menenangkan jiwaku itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa,
bahkan aku terlalu bahagia. Ya Allah.......... mahluk apa ini?? Engkau ciptakan
mahluk yang begitu sempurna seperti ini??, mahluk indah yang sangat aku cintai
dan juga mahluk tersebut sangat mencintaiku. Ia mengobati rasa lukaku, selalu
menghapus duka dan air mataku, bahkan disaat sebelum ia sadari, bahwa
sebenarnya dirinya “jauuh”
lebih terluka dari pada dirikku.
By: Cut Falah N.R
hahaha hii, kembali lagi dengan saya.
ini cerita semasa saya kelas 1 SMA dulu loh.. ;)
ya memang belum terlalu lama, tapi juga jelas bukan cerita terbaru saya ^^
dont go anywhere ya, i'll be right back dengan cerita cerita yang lainnya
thank you so much <3
@CutFalahNR (Twitter)
cutfalah.blogspot.com
cutfalahnr@yahoo.com
fafacfnr@gmail.com