Desember, 2016.
Kisah ini akan menjadi penutup tahun bagiku. Bagi seorang
putri Apoteker yang terkenal dengan senyum manisnya. Ibu selalu melarangku
untuk mencintai seseorang yang bukan garis keturunan keluarga, sesering ibu
menyampaikannya, sesering itu aku tidak mengindahkan.
September dua tahun kemarin mengajarkan aku apa itu
kehilangan, dan desember tahun ini mengajarku perihal yang sama. Kenapa aku
harus mengulang mata pelajaran ini? Apa karena kemarin aku kurang sedih? Atau apa
karena aku mendapat nilai E?
Ahh, mungkin ini mata pelajaran lanjutan, sama seperti
kemarin aku belajar Sistem Informasi Akuntansi, dan semester depan aku harus
belajar PKA Sistem Informasi Akuntansi.
Aku mengerti sekarang, kenapa wanita yang melahirkanku
melarangku untuk jatuh cinta. Dia begitu tahu bagaimana rasanya kehilangan, dia
begitu mengerti. Pasti. Bahkan, dia tahu apa yang kurasakan saat ini. Sangat tahu.
Ini patah hati terkeras yang putri bungsumu tengah
rasakan. Yang ia rajut dalam hitungan tahun. Sungguh, putrimu sedang tidak
baik-baik saja. Sesuatu tengah menohok dadanya.
**
Apa yang terjadi selama tahun berlalu?
Aku terbiasa menutup mata sambil memikirkanmu,
Aku terbiasa membayangkanmu ketika aku terjaga di pagi
hari,
Aku terbiasa mencintaimu, aku sangat ingat betul bagimana
mata teduh itu menantapku. Berkata bahwa semuanya baik-baik saja, berkata bahwa
tak aka nada yang berubah, aku ingat sekali bagaimana caranya menenangkanku.
Aku teringat ketika suhu badanmu menghangat, kubelikan
beberapa hal yang kupikir akan membuatmu merasa lebih baik, beberapa kaleng
susu dan minuman kaya vitamin C. Dan memastikanmu beristirahat, tidak keluar
rumah, tidak keluyuran kemana-mana.
Aku teringat bagaimana ketika kita menonton sebuah film,
kau lebih banyak berbicara, aku selalu tahu itu. Kau tipikal orang yang tak
tahu bagaimana caranya diam meskipun hanya sepersekian detik.
Aku terbiasa merapalkan namamu dalam doaku, dan kini,
seketika, kebiasaan itu harus berubah.
Apa kau ingat masa itu, kau bertanya ada berapa peniti
yang kau kenakan, aku salah menebak, tebakan salah seorang temanku yang benar,
kalau tidak salah jumlahnya ada enam. Tersebar dimana-mana. Seragam sekolahmu
sudah sangat kekecilan.
Kau ingat bagaimana
raut wajahmu saat kutanya apakah kau terlambat hari ini ataukah tidak. Selanjutnya
jika ia kamu terlambat, kau akan cerita bagaimana caramu memanjat gerbang
sekolah. Kau selalu bangga menjadi pendaki gerbang masa itu, kau bilang
adrenalinmu terpacu. Kini, aku tahu yang memacu adrenalinmu bukan lagi tembok
setinggi satu setengah meter, pemacu adrenalinmu kini panggung dan mic.
Izinkan aku mengenang semua hal yang pernah kita lakukan
dalam tulisan ini.
Kau selalu punya cerita yang berbeda setiap harinya, dan
aku selalu setia mendengarkan sambil duduk manis di sofamu. Kau memberitahuku
hampir segalanya.
Ratu alayku, sekarang aku ada dititik tak percaya kau
pernah memanggilku dengan sebutan itu, atau panggilan Mbob yang kuberikan
karena kau selalu benci jika harus melewatkan satu saja episode berulang
Spongebob di Global TV. Saat itu kau sudah terlalu tua untuk tanyangan itu,
bodoh.
Blog, kau ingat itulah kisi-kisi mengetukku. Itulah caramu
menyentuhku untuk pertama kali, bertingkah seolah kau tak tahu bagaimana cara
mengganti tamplatenya, dan dengan bodohnya aku percaya.
Kau ingat perutku yang mulas saat ulang tahun ke tujuh
belasmu? Aku kehujanan karena harus berputar-putar keliling kota demi sebuah
kejutan sederhana, di tengah hujan. Dan aku berakhir sakit perut Karena masuk angin,
Kau selalu benci karena aku membuatmu penasaran, juga aku
selalu suka membuatmu penasaran. Kau suka ditantang, dan aku suka menantangmu. Bagaimana
mungkin kita sebodoh ini dulu!
Aku bahkan bisa ingat dengan jelas rumah makan-rumah
makan mana yang pernah kita singgahi. Atau toko toko mana yang kau singgahi
untuk membelikanku cokelat. Ahh, cokelat, kau tahu aku tak makan cokelat lain
selain cokelat putih. Vanilla. Kau juga jatuh cinta pada parfum Vanilla itu. Kau
sangatm kesal saat mencium wangi itu tetapi yang kau dapati bukan diriku. Kau tidur
lebih nyenyak di Bandung setelah memakai parfum itu.
Cina. Kau dulu suka mengumpatku dengan panggilan itu.
Semua lukisan dan boneka darimu, masih tersimpan rapi,
dan tak akan kubiarkan robek atau kotor. Tenang, aku tahu bagaimana
memperlakukan mereka. Bahkan setelah semua ini.
Kita selalu bertingkah aneh di depan cermin, entah. Kita meniru
sampul sebuah film, atau apapun itu. Kita selalu bertingkah aneh. Ahh, garis
merah di hidungmu. Aku paling suka menggambar itu. Hanya itu kemarinku
menggambar.
Aku jatuh cinta pada orang yang sama, berkali-kali, jatuh
cinta lagi, lagi, pada orang yang sama. Berbilang tahun. Bagaimana mungkin aku
bisa berhenti seperti simsalabim?
Bagaimana mungkin aku bisa bersikap seolah-olah tak ada
yang terjadi?
Kau seseorang yang benar-benar suka mengobrol, tak kenal
waktu. Dan yah, kau lebih suka mendominasi percakapan. Aku suka mendengarmu,
sangat suka.
Aku pernah mengetuk pintu rumahmu, tapi kau tertidur. Beberapa
menit kemudian aku memutuskan pulang, selanjutnya yang terjadi kau meminta maaf
dengan menggambari semua tembok di rumahmu dengan kata-kata penyesalan. Bagaimana
bisa aku bersikap aku tak pernah melihat tulisan di tembok itu? Atau ratusan
foto yang kau bentuk menyerupai wajahku?
Aku seseorang yang hidup dalam aturan dibenturkan dengan
kamu, dan entah kenapa aku bertahan sejauh ini. Aku tak suka melanggar aturan
lalu lintas, tapi tidak begitu dengan kamu. Aku tidak suka terlambat masuk
kelas, kamu suka memanjat pagar sekolah.
Ibarat ying dan yang. Kita seperti itu.
Kita saling memenuhi, mengisi.
Hampir seluruh sekolah tahu siapa kita, tahu bagaimana
cerita kita. Tahu siapa kita.
Kau suka sekali makan bakso depan sekolah, juga bakso di
Cibaduyut.
Aku mencintaimu, sungguh.
Bukankah aku pernah bercerita, tentang aku yang
kehilangan sendalku saat bersama ayah tapi aku memilih tidak menyampaikannya
pada Ayah.
Aku mencintaimu seperti itu. Aku sampaikan atau tidak,
yah aku tetap dalam perasaan itu. Aku tahu semua ini tidak mudah. Apa yang
terjadi tidak sesuai dengan harapanku dan harapanmu. Tapi, sungguh. Bagaimana perasaanku,
bagaimana aku. Biarlah menjadi rahasiaku. Kau tak harus tahu itu.
Berbahagialah, karena aku, bukan lagi nyaman yang kau
cari.
Dan, kau tak perlu bilang, bahwa aku tak tahu diri. Sungguh,
kau tak perlu berkata itu. Biarkan ini menjadi urusanku. Biarkan semua ini
menjadi tugasku. Jalan saja terus ke depan. Tak ada yang harus kau lihat di
belakang.
**
Ibu, anakmu sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja
anakmu cukup tahu, bahwa nikmat Tuhan terlalu luas dan terlalu banyak untuk
menangisi satu kehilangan.
Ibu, anakmu cukup tahu, bahwa perempuan yang baik untuk
lelaki yang baik. Anakmu hanya perlu terus memperbaiki diri, untuk cinta yang
lebih berkelas.
Ibu, anakmu benar tidak sedang baik-baik saja, tapi
percayalah. Dia tahu bagaimana cara berdiri kembali. Sungguh, dan dia sedang
tersenyum saat menulis ini.
Ibu, apakah kau tahu satu hal lagi? Satu hal yang sangat
penting?
Ahhh, aku rasa ibu tahu, dan biarlah hanya ibu yang tahu.