Pagi
Sebuah ketukan kudengar dari luar pintu kamarku. Disusul suara lembut
menyerukan namaku. Seperti hari-hari yang telah lewat, itu suara ibuku untuk
membuatku bangun. Dan, bersama suara itu, aku terlepas dari dunia mimpi penuh
warna yang selalu tersuguhkan di tiap malamku.
Ada yang berbeda dengan hari ini. Maksudku, kipas angin di kamarku masih
menyala ketika aku terjaga, meja belajarku pun masih penuh oleh tebaran
buku-buku yang kubaca, adikku pun masih setia dengan gundunya yang ia mainkan
di dalam rumah sehingga menghasilkan bunyi ‘pletak-pletok’ yang berisik. Ibuku
pun masih setia berdiri didepan cerminku untuk berdandan. Ada juga Ayahku yang
berpamitan pergi kerja kepada seluruh penghuni rumah, semua kompak menjawab
tinggal aku yang hanya menjawab sengau dari balik bantal tidurku. Lalu, pagi
juga masih sama dengan perdebatan kecil antara adikku dan pembantuku. Membuat
diskusi serius tingkat tinggi tentang menu sarapan pagi ini yang berujung pada
sosis atau nugget goreng.
Semua kesamaan itu masih terasa sama karena aku pun masih menemukan
secangkir teh hangat untukku di meja makan. Perbedaan kecil atau lumayan besar,
oke aku jujur, perbedaan itu terasa besar. Buatku, bukan buat kamu atau
siapapun lainnya. Karena hanya aku yang merasakan betapa hampa menyerbu rasaku
begitu rupa. Tebarkan sendu di langit-langit pagi kamarku. Tidak masuk akal,
aku telah terbiasa sepi. Lalu kenapa hampa ini masih saja menggelayuti?
Kuraih handphoneku. Terdapat beberapa pesan tertera disana. Senyumku
mengembang.
‘Ah manis, kamu sudah menyapaku sepagi ini.’ Ujarku dalam hati.
Dan.
yang
kutemukan adalah berbuah-buah pesan dari mereka, para sahabatku. Aku kecewa? Tidak
juga. Aku senang sahabat-sahabatku masih mengingatku. Hanya saja, sebuah tanya
menelusupi hatiku perlahan.
‘Kenapa kamu tidak mengingatku?’ Gaung tanya itu di otakku.
Oh mentari, selamat pagi…