Jakarta, Tahun 50-an
Membayangkan hidup
seolah mesin waktu dan kita memiliki remot yang dapat mengatur kemana waktu
yang akan kita pilih. Masa lalu, masa depan, atau memilih tidak hidup sama
sekali. Sungguh bukan kehendak manusia. Kita hanya ketiba-tibaan yang akhirnya
menjadi pertaruhan. Salah satu jenis pertaruhan paling sengit adalah menghadapi
getir kehidupan.
Hidup disebuah Negara
yang baru saja mengundang kemerdekaan dan mengusir penjajah, Indonesia. Senjata
sisa perang dikembalikan kepada Negara dan kita memulai kehidupan yang baru,
kota baru, pemimpim baru, dan semuanya sah milik Indonesia. Hidup dengan cara
masing-masing. Ada yang memilih hidup di jalan agama, politik, komunis bahkan
ada yang tidak memilih jalan hidup sama sekali. Ajaran-ajaran juga berkembang
dari fislafat materialisme hingga ajaran atheis.
Kota Jakarta, jika
memang sudah bisa disebut sebagai kota telah menjadi pusat pemerintahan
Indonesia. Wajah kota masih carut marut. Satu hal yang membanggakan karena
pembungan mulai digencarkan. Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup
dan pemimpin tertinggi revolusi Indonesia. Entah dari mana dana sebesar monas
digelontorkan negara anak bawang ini, tapi setidaknya kota Jakarta telah
memiliki ciri khas, Monas.
Pagi itu sedang cerah,
musim penghujan masih jauh. Pasar Tanah Abang telah ramai beraktivitas. Tawar
menawar antara pembeli dan penjual. Sesekali di pasar ini kita juga mendengar
teriakan ibu-ibu yang kecopetan. Tuntutan hidup tentunya. Diujung jalan seorang
anak tiga tahun belajar berjalan ditemani ibunya.
Pemandangan yang tidak
biasa. Di jalanan sangat ramai, ada yang berjalan dan tidak sedikit yang
memilih bersepeda. Satu tujuan yang sama, Lapangan Merdeka. Ada hajatan akbar
PKI. Ayah mengajakku untuk ikut merayakan masuknya PKI sebagai empat partai
besar di Indonesia pada pemilu tahun ini. Umur saya waktu itu kira-kira 5
tahun. Tidak banyak yang saya ingat, lapangan penuh dengan warna merah dan
umbul-umbul bergambarkan palu arit. Beberapa tahun kemudian saya baru mengerti
jika itu adalah lambang Partai Komunis Indonesia. Salah satu partai besar pada
itu.
Lapangan sesak, di atas
panggung seorang berpidato dengan penuh semangat. Siapa dia, saya tidak
tertarik mencari tahu, ditambah waktu itu saya tidak mengerti apa isi
pidatonya. Saya lebih tertarik mendengar cerita Ayah saya dengan teman lamanya.
Ayah saya sedang sibuk mengenang perjuangan mereka membesarkan partai ini. Hal
yang nantinya diceritakan juga kepada saya. Belakangan juga saya baru tahu jika
ternyata orang yang sedang berpidato itu adalah D.N Aidit, ketua PKI waktu itu.
Sepulang dari rapat
akbar itu, Ayah singgah di toko buku yang terletak di simpang jalan merpati
nomor 58. Di toko milik Kwik Hong ini, Ayah membeli beberapa buku dan
memasukkannya ke tas jinjing yang selalu ia bawa kemanapun Ayah pergi. Ayah
membonceng saya pulang dengan sepada. Satu hal yang terus saya ingat, bahwa
Ayah saya adalah salah satu jenis manusia pendiam yang sangat ramah. Bahkan
dengan anaknya sendiri, ayah selalu membatasi kata-katanya.
Ayah cukup dikenal di
lingkungan tempat kami tinggal. Oh ya, saya hampir lupa mengisahkan tentang Ibu
saya. Ibu saya adalah aktivis di Gerakan Wanita Indonesia atau dikenal juga
dengan Gerwani. Setidaknya itu kata yang suka ibu sebut ketika berkumpul dengan
ibu-ibu yang sering bertandang ke rumah. Saya bersaudara hanya dua orang. Kakak
saya seorang perempuan yang kala itu berumur 8 tahun.
Selain aktif di PKI,
Ayah saya juga berkantor di Lekra atau dikenal juga dengan Lembaga Kebudayaan
Rakyat. Saya beberapa kali dibawa oleh Ayah ke kantornya. Dari situlah saya
kenal beberapa teman Ayah yang sangat kritis dan anti imperialis, Pramoedya
Ananta Toer salah satunya. Setidaknya kata kritis dan imprealis ini saya
dapatkan dari tulisan dan penjelasan Ayah saat saya membaca tulisan-tulisan Pramoedya.
Saya termasuk anak yang
selalu ingin tahu dan semenjak tahu bahwa di kantor ayah banyak bahan bacaan,
saya lebih suka diajak ke kantornya. Setidaknya saya merasa lebih bebas dari
pada ikut pertemuan, apa lagi semacam rapat akbar di Lapangan Merdeka tempo
hari itu.
Di usia delapan tahun,
saya bisa membaca dan menulis. Itu membuat saya bisa tahu beberapa berita yang
bahkan orang tua tidak bisa membacanya. Anak sebaya saya waktu itu masih senang
bermain kelereng dan cangklok sedangkan saya sudah mulai gemar membaca
penggalan buku-buku dan koran yang biasa ayah bawa sepulang dari kantor.
Keluarga saya hidup
sangat sederhana. Kakak perempuan saya beruntung, setidaknya ia bisa sekolah
tidak seperti anak perempuan yang lain. Sedangkan saya terus diajar otodidak
oleh Ibu untuk menulis indah. Ayah suka dengan hewan, salah satu yang ayah
pelihara adalah kuda. Nama kuda itu djagal. Ayah sangat merawatnya dan
menganggap kuda kesayanggannya itu sebagai bagian dari keluarga kecil kami.
Kebahagiaan ini berlangsung sampai usia saya belasan tahun
***
Jakarta, Tahun 1965
Ayah saya mengundang
beberapa temannya untuk rapat di rumah. Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi,
termasuk lelaki yang tempo hari berpidato di atas panggung, D. N Aidit dan
beberapa teman Ayah yang lain juga ikut datang. Sepertinya ini perbincangan
serius, bahkan Ayah saya yang sangat jarang marah membentak dan menyuruh saya
masuk ke dalam kamar. Samar-samar saya mendengar kata kudeta dan kata
propaganda. Dua kata yang sama sekali tidak saya mengerti. Saya terus mendengar
hingga akhirnya terlelap.
Besok pagi-pagi sekali
Ayah sudah ke kantornya. Beberapa hari yang lalu sebenarnya ayah sudah berjanji
kepadaku untuk membawaku ikut serta ke kantornya. Tapi bahkan ayah tidak
menyinggung kembali ajakannya kepadaku yang sudah berdiri di pintu. Ayah hanya
berpesan, jaga ibumu yah nak. Saya buru-buru menyahut, ayah jangan lupa bawakan
saya koran yah. Ayah saya hanya tersenyum dan mencium keningku. Sementara ibu
menyuruh ayah sarapan namun Ayah nampaknya buru-buru bahkan hanya sempat minum
satu teguk kopi yang sudah diseduh oleh ibu. Tidak seperti biasa.
Sampai adzan maghrib,
Ayah belum juga pulang. Ibu mulai cemas dan mencari tahu perihal kabar Ayah.
Ibu menyusul ke kantornya namun sungguh sangat disayangkan karena kontor itu
ternyata sudah kosong. Ibu lantas ke rumah beberapa rekan Ayah, tapi katanya
dari tadi sore Ayah sudah izin pulang. Ibu semakin resah dan akhirnya
memutuskan untuk pulang ke rumah.
Di pintu rumah, pukul
delapan malam, saya masih menunggu dengan haru. Ada dua hal penting yang saya
tunggu, pertama adalah Ayah saya dan kedua adalah Koran yang Ayah janjikan
untuk saya. Dari jauh, saya melihat samar Ibu berjalan dengan lesu. Matanya
berkabar tentang sia-sia. Dan saya sedikit banyak dapat mengerti kata-kata dari
wajah Ibu.
Malam itu rumah menjadi
sangat hening. Saya disuruh untuk istirahat sedangkan kakak perempuan saya dan
ibu menunggu Ayah di ruang tamu. Saya tidak bisa tertidur, terpaksa hanya
baring-baring dan membaca ulang koran terakhir yang Ayah bawa dari kantornya.
Tiba-tiba di tengah malam buta, mungkin pukul dua malam. Ada suara ketukan
pintu. Ayah datang dengan keringat di wajah. Ibu yang telah tertidur kaget dan
terbangun. Pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dengan tergopoh
Ibu seolah wartawan yang sedang mencari informasi dari narasumbernya. Ibu tidak
henti bertanya namun tidak satupun pertanyaannya dijawab. Setelah mengambil
beberapa pakaian, Ayah kemudian duduk di kursi rotan disamping kaka saya yang
tertidur. hanya bertanya.
“bagaimana keadaan
anak-anak, bu?”
“mereka sudah
istirahat” ibu menimpali
“baguslah, Ayah minta
tolong jika mereka bertanya tentang saya, jawab saja saya sedang keluar kota
untuk beberapa waktu”
“tapi ayah hendak
kemana?”
Waktu itu saya
terbangun dan mendengar percakapan kedua orang tua saya. Saya lantas keluar dan
berdiri di pintu kamar. Ibu kemudian menyuruh saya untuk masuk kembali ke kamar
namun rasa ingin tahu saya memaksa saya untuk terus berdiri dan mendengar
percakapan dini hari ini. Ayah kemudian berjalan ke arah saya dan memeluk
sangat erat. Inilah mungkin pelukan terhangat yang pernah saya rasakan dari
seorang Ayah. Erat sekali. Satu ciuman di kening saya dan berpesan, apapun yang
terjadi selamatkan buku-buku ayah yah.
Kemudian Ayah berjalan ke
arah ibu. Setelah memberi salam, Ayah kemudian kembali meninggalkan rumah dan
berjalan di tengah malam gulita lalu hilang ditelan kegelapan. Saya menangis
dan naluri saya berbisik, pasti telah terjadi keganjilan yang menimpa Ayah
saya.
Hura-hara politik waktu
itu memang sedang terjadi, di usia 18 tahun saya sudah mengerti. Tersiar kabar
bahwa telah terjadi pembakaran rumah orang-orang yang dituduh PKI. Saya
langsung ingat pesan ayah untuk menyelamatkan buku-bukunya. Beberapa buku saya
mauskkan kedalam kardus dan membawanya ke kandang kuda di belakang rumah. saya
menaruhnya di atas loteng.
Benar saja, keesokan
harinya terjadilah kepanikan yang tidak pernah saya lupa. Tidak pernah.
Segerombolan aparat mendatangi rumah saya dan mencari Ayah serta membawa ibu
pergi. Saya menangis sejadi-jadinya. Usia saya lima belas tahun. Ibu
diintrogasi dan kakak perempuan saya disiksa. Beberapa pemuda yang bukan aparat
juga masuk menggeledah rumah kami.
“Bapaknya tidak ada,
seru salah seorang aparat yang telah mengobrak-abrik seisi rumah”
“hanya ada anak dan
istrinya, kata aparat yang lain”
Seperti sedang melapor
kepada orang yang ada di luar rumah. Dia lantas melirik kakak saya yang waktu
itu sudah berumur delapan belas tahun. Aparat yang berkumis itu kemudian menyeret
kakak saya kedalam kamar. Dari dalam kamar saya mendengar suara teriakan
meminta tolong namun tidak ada seorangpun yang berani masuk ke rumah kami.
Kakak saya diperkosa tanpa perlawanan sedangkan saya yang mencoba menolong
kakak saya dihadang oleh aparat yang berdiri di depan pintu kamar. Saya
mengamuk dan satu hantaman gagang senjata di mulut saya membuatku tersungkur.
Saya coba bangkit kembali. Saya tidak hirau dengan ancaman mereka.
Di kepala saya hanya
ada pikiran ingin menyelamatkan kakak saya. Namun setelah kepala saya dihantam
benda tumpul saya kemudian tidak tahu apa-apa lagi. Saya di seret keluar rumah
lalu rumahku dibakar di hadapanku sendiri. hangus dan menyedihkan.
Dalam keadaaan
tersungkur di tanah, saya melihat kobaran api menghanguskan rumahku. Badan saya
remuk bahkan sudah tidak bisa lagi digerakkan. Saya hanya membayangkan kematian
mungkin akan datang. Tapi sangat saya sesali karena tidak kunjung datang juga.
Shit.
Tergambar dengan jelas
bagaimana kebahagiaan keluargaku pernah. Ayah, ibu dan kakak, dan semuanya yang
kami miliki. Saya kemudian membayangkan keadaan mereka. Orang sudah berkumpul
di depan rumahku. Mereka menikmati kobaran api ini dan tidak satupun yang
berniat membantu saya. Sampai saya merasa ada yang menarik tubuh saya. Saya
tidak bis alagi mengenalinya. Mata saya sayu dan berharap mungkin lebih baik
tubuh saya dijebloskan kedalam api tersebut. Namun ternyata tangan itu
mengangkat saya dan membawa saya ke halaman belakang. Di kandang kuda saya baru
sadar jika dia adalah Arini. Perempuan yang saya kenal di kantor ayah. Dia
membawaku dan mengamanankan tubuhku yang bukan tubuh lagi. Malam itu kami
berdua tidur di kandang kuda.
Tempat rumah saya
memang masih hutan. Di belakang rumah saya adalah pekarangan yang sangat luas. Tumbuh
menjalar pohon-pohon dan tumbuhan bambu liar. Kami berdua akhirnya
terselamatkan dari kobaran emosi orang-orang yang berteriak “anti PKI”,
“ganyang PKI”.
Arini juga berkisan
tentang rumahnya yang dibakar oleh aparat. Rumah Arini memang agak jauh dari
rumah saya tapi menurut informasinya, malam itu Ayah saya bersembunyi di
rumahnya dan barulah keesokan subuhnya Ayahku pergi dengan beberapa temannya ke
suatu tempat yang entah dimana, termasuk Ayah Arini. Ayah sayalah yang
menganjurkan jika terjadi sesuatu, Arini ke rumah saya saja.
Setelah beberapa hari
dan keadaan saya sudah membaik, saya coba ketetangga untuk meminta makanan
namun tidak ada satu rumahpun dan seisinya yang menerima kami. Hanya hinaan dan
cacian yang kami terima. Akhirnya tidak ada jalan lain, saya akhirnya kembali
ke kandang kuda dan membawa buku ayah pergi serta satu-satunya makhluk bernyawa
yang saya miliki, Kuda jantan Australia bernama djagal.
Sejak saat itu saya
sering di teriaki anak komunis. Teriakan yang akhirnya mengganggu nalar saya.
Saya memuji ketangguhan jiwa Arini, anak perempuan inilah yang akhirnya selalu
menyelamatkan jiwa saya dari kegilaan.
Dengan sangat menyesal,
saya harus menganggap keluargaku sudah meninggal, semuanya. Satu-satunya tempat
yang aman buat kami berdua adalah berjalan terus dengan mengandalkan tenaga
yang masih tersisa. Saya juga masih berpikir, pengorbanan macam apa ini. Disaat
yang sangat genting, seorang perempuan datang menyelamatkanku dan sekarang saya
harus berpikir tentang kehidupan kami selanjutnya.
Kapal penyebrangan.
Saya akhirnya menjual kuda kesayangan Ayah dan memutuskan untuk pindah ke kota
Makassar. Kota kelahiran Ayah saya.
***
Makassar,
Tahun 1973
Saya akhirnya hidup
damai di Makassar. Di usia yang baru 18 tahun, saya dinikahkan dengan Arini,
perempuan setia yang menemani masa-masa sulit dalam hidup saya. Di kota ini
juga saya akhirnya mendengar dari cerita orang-orang yang perihal perlakuan
para tentara dan warga terhadap mereka yang dituduh sebagai antek komunis.
Sulit rasanya menerima
kenyataan, saya tidak kuat membayangkan bagaimana wajah teduh ibu dan kakak
perempuan saya harus diperlakukan seperti binantang. Saya hanya berdoa semoga
mereka masih hidup, terserah mereka telah diapakan oleh para tentara itu. Dari
cerita orang-orang, semenjak itu saya membenci Soeharto yang ternyata dalang
dari semua kekacauan yang merebut kebahagiaan masa kecil saya.
Sampai saat sekarang,
saya selalu bertanya-tanya dalam hati, memangnya apa yang telah orang-orang
yang di tuduh komunis itu lakukan? Terlebih lagi Ayah, Ibu, dan Kakak perempuan
saya? –