17 August 2013

Anak Komunis

            Jakarta, Tahun 50-an
Membayangkan hidup seolah mesin waktu dan kita memiliki remot yang dapat mengatur kemana waktu yang akan kita pilih. Masa lalu, masa depan, atau memilih tidak hidup sama sekali. Sungguh bukan kehendak manusia. Kita hanya ketiba-tibaan yang akhirnya menjadi pertaruhan. Salah satu jenis pertaruhan paling sengit adalah menghadapi getir kehidupan.
Hidup disebuah Negara yang baru saja mengundang kemerdekaan dan mengusir penjajah, Indonesia. Senjata sisa perang dikembalikan kepada Negara dan kita memulai kehidupan yang baru, kota baru, pemimpim baru, dan semuanya sah milik Indonesia. Hidup dengan cara masing-masing. Ada yang memilih hidup di jalan agama, politik, komunis bahkan ada yang tidak memilih jalan hidup sama sekali. Ajaran-ajaran juga berkembang dari fislafat materialisme hingga ajaran atheis.
Kota Jakarta, jika memang sudah bisa disebut sebagai kota telah menjadi pusat pemerintahan Indonesia. Wajah kota masih carut marut. Satu hal yang membanggakan karena pembungan mulai digencarkan. Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup dan pemimpin tertinggi revolusi Indonesia. Entah dari mana dana sebesar monas digelontorkan negara anak bawang ini, tapi setidaknya kota Jakarta telah memiliki ciri khas, Monas.
Pagi itu sedang cerah, musim penghujan masih jauh. Pasar Tanah Abang telah ramai beraktivitas. Tawar menawar antara pembeli dan penjual. Sesekali di pasar ini kita juga mendengar teriakan ibu-ibu yang kecopetan. Tuntutan hidup tentunya. Diujung jalan seorang anak tiga tahun belajar berjalan ditemani ibunya.
Pemandangan yang tidak biasa. Di jalanan sangat ramai, ada yang berjalan dan tidak sedikit yang memilih bersepeda. Satu tujuan yang sama, Lapangan Merdeka. Ada hajatan akbar PKI. Ayah mengajakku untuk ikut merayakan masuknya PKI sebagai empat partai besar di Indonesia pada pemilu tahun ini. Umur saya waktu itu kira-kira 5 tahun. Tidak banyak yang saya ingat, lapangan penuh dengan warna merah dan umbul-umbul bergambarkan palu arit. Beberapa tahun kemudian saya baru mengerti jika itu adalah lambang Partai Komunis Indonesia. Salah satu partai besar pada itu.
Lapangan sesak, di atas panggung seorang berpidato dengan penuh semangat. Siapa dia, saya tidak tertarik mencari tahu, ditambah waktu itu saya tidak mengerti apa isi pidatonya. Saya lebih tertarik mendengar cerita Ayah saya dengan teman lamanya. Ayah saya sedang sibuk mengenang perjuangan mereka membesarkan partai ini. Hal yang nantinya diceritakan juga kepada saya. Belakangan juga saya baru tahu jika ternyata orang yang sedang berpidato itu adalah D.N Aidit, ketua PKI waktu itu.
Sepulang dari rapat akbar itu, Ayah singgah di toko buku yang terletak di simpang jalan merpati nomor 58. Di toko milik Kwik Hong ini, Ayah membeli beberapa buku dan memasukkannya ke tas jinjing yang selalu ia bawa kemanapun Ayah pergi. Ayah membonceng saya pulang dengan sepada. Satu hal yang terus saya ingat, bahwa Ayah saya adalah salah satu jenis manusia pendiam yang sangat ramah. Bahkan dengan anaknya sendiri, ayah selalu membatasi kata-katanya.
Ayah cukup dikenal di lingkungan tempat kami tinggal. Oh ya, saya hampir lupa mengisahkan tentang Ibu saya. Ibu saya adalah aktivis di Gerakan Wanita Indonesia atau dikenal juga dengan Gerwani. Setidaknya itu kata yang suka ibu sebut ketika berkumpul dengan ibu-ibu yang sering bertandang ke rumah. Saya bersaudara hanya dua orang. Kakak saya seorang perempuan yang kala itu berumur 8 tahun.
Selain aktif di PKI, Ayah saya juga berkantor di Lekra atau dikenal juga dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Saya beberapa kali dibawa oleh Ayah ke kantornya. Dari situlah saya kenal beberapa teman Ayah yang sangat kritis dan anti imperialis, Pramoedya Ananta Toer salah satunya. Setidaknya kata kritis dan imprealis ini saya dapatkan dari tulisan dan penjelasan Ayah saat saya membaca tulisan-tulisan Pramoedya.
Saya termasuk anak yang selalu ingin tahu dan semenjak tahu bahwa di kantor ayah banyak bahan bacaan, saya lebih suka diajak ke kantornya. Setidaknya saya merasa lebih bebas dari pada ikut pertemuan, apa lagi semacam rapat akbar di Lapangan Merdeka tempo hari itu.
Di usia delapan tahun, saya bisa membaca dan menulis. Itu membuat saya bisa tahu beberapa berita yang bahkan orang tua tidak bisa membacanya. Anak sebaya saya waktu itu masih senang bermain kelereng dan cangklok sedangkan saya sudah mulai gemar membaca penggalan buku-buku dan koran yang biasa ayah bawa sepulang dari kantor.
Keluarga saya hidup sangat sederhana. Kakak perempuan saya beruntung, setidaknya ia bisa sekolah tidak seperti anak perempuan yang lain. Sedangkan saya terus diajar otodidak oleh Ibu untuk menulis indah. Ayah suka dengan hewan, salah satu yang ayah pelihara adalah kuda. Nama kuda itu djagal. Ayah sangat merawatnya dan menganggap kuda kesayanggannya itu sebagai bagian dari keluarga kecil kami. Kebahagiaan ini berlangsung sampai usia saya belasan tahun

***

Jakarta, Tahun 1965
Ayah saya mengundang beberapa temannya untuk rapat di rumah. Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, termasuk lelaki yang tempo hari berpidato di atas panggung, D. N Aidit dan beberapa teman Ayah yang lain juga ikut datang. Sepertinya ini perbincangan serius, bahkan Ayah saya yang sangat jarang marah membentak dan menyuruh saya masuk ke dalam kamar. Samar-samar saya mendengar kata kudeta dan kata propaganda. Dua kata yang sama sekali tidak saya mengerti. Saya terus mendengar hingga akhirnya terlelap.
Besok pagi-pagi sekali Ayah sudah ke kantornya. Beberapa hari yang lalu sebenarnya ayah sudah berjanji kepadaku untuk membawaku ikut serta ke kantornya. Tapi bahkan ayah tidak menyinggung kembali ajakannya kepadaku yang sudah berdiri di pintu. Ayah hanya berpesan, jaga ibumu yah nak. Saya buru-buru menyahut, ayah jangan lupa bawakan saya koran yah. Ayah saya hanya tersenyum dan mencium keningku. Sementara ibu menyuruh ayah sarapan namun Ayah nampaknya buru-buru bahkan hanya sempat minum satu teguk kopi yang sudah diseduh oleh ibu. Tidak seperti biasa.
Sampai adzan maghrib, Ayah belum juga pulang. Ibu mulai cemas dan mencari tahu perihal kabar Ayah. Ibu menyusul ke kantornya namun sungguh sangat disayangkan karena kontor itu ternyata sudah kosong. Ibu lantas ke rumah beberapa rekan Ayah, tapi katanya dari tadi sore Ayah sudah izin pulang. Ibu semakin resah dan akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.
Di pintu rumah, pukul delapan malam, saya masih menunggu dengan haru. Ada dua hal penting yang saya tunggu, pertama adalah Ayah saya dan kedua adalah Koran yang Ayah janjikan untuk saya. Dari jauh, saya melihat samar Ibu berjalan dengan lesu. Matanya berkabar tentang sia-sia. Dan saya sedikit banyak dapat mengerti kata-kata dari wajah Ibu.
Malam itu rumah menjadi sangat hening. Saya disuruh untuk istirahat sedangkan kakak perempuan saya dan ibu menunggu Ayah di ruang tamu. Saya tidak bisa tertidur, terpaksa hanya baring-baring dan membaca ulang koran terakhir yang Ayah bawa dari kantornya. Tiba-tiba di tengah malam buta, mungkin pukul dua malam. Ada suara ketukan pintu. Ayah datang dengan keringat di wajah. Ibu yang telah tertidur kaget dan terbangun. Pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dengan tergopoh Ibu seolah wartawan yang sedang mencari informasi dari narasumbernya. Ibu tidak henti bertanya namun tidak satupun pertanyaannya dijawab. Setelah mengambil beberapa pakaian, Ayah kemudian duduk di kursi rotan disamping kaka saya yang tertidur. hanya bertanya.
“bagaimana keadaan anak-anak, bu?”
“mereka sudah istirahat” ibu menimpali
“baguslah, Ayah minta tolong jika mereka bertanya tentang saya, jawab saja saya sedang keluar kota untuk beberapa waktu”
“tapi ayah hendak kemana?”
Waktu itu saya terbangun dan mendengar percakapan kedua orang tua saya. Saya lantas keluar dan berdiri di pintu kamar. Ibu kemudian menyuruh saya untuk masuk kembali ke kamar namun rasa ingin tahu saya memaksa saya untuk terus berdiri dan mendengar percakapan dini hari ini. Ayah kemudian berjalan ke arah saya dan memeluk sangat erat. Inilah mungkin pelukan terhangat yang pernah saya rasakan dari seorang Ayah. Erat sekali. Satu ciuman di kening saya dan berpesan, apapun yang terjadi selamatkan buku-buku ayah yah.
Kemudian Ayah berjalan ke arah ibu. Setelah memberi salam, Ayah kemudian kembali meninggalkan rumah dan berjalan di tengah malam gulita lalu hilang ditelan kegelapan. Saya menangis dan naluri saya berbisik, pasti telah terjadi keganjilan yang menimpa Ayah saya.
Hura-hara politik waktu itu memang sedang terjadi, di usia 18 tahun saya sudah mengerti. Tersiar kabar bahwa telah terjadi pembakaran rumah orang-orang yang dituduh PKI. Saya langsung ingat pesan ayah untuk menyelamatkan buku-bukunya. Beberapa buku saya mauskkan kedalam kardus dan membawanya ke kandang kuda di belakang rumah. saya menaruhnya di atas loteng.
Benar saja, keesokan harinya terjadilah kepanikan yang tidak pernah saya lupa. Tidak pernah. Segerombolan aparat mendatangi rumah saya dan mencari Ayah serta membawa ibu pergi. Saya menangis sejadi-jadinya. Usia saya lima belas tahun. Ibu diintrogasi dan kakak perempuan saya disiksa. Beberapa pemuda yang bukan aparat juga masuk menggeledah rumah kami.
“Bapaknya tidak ada, seru salah seorang aparat yang telah mengobrak-abrik seisi rumah”
“hanya ada anak dan istrinya, kata aparat yang lain”
Seperti sedang melapor kepada orang yang ada di luar rumah. Dia lantas melirik kakak saya yang waktu itu sudah berumur delapan belas tahun. Aparat yang berkumis itu kemudian menyeret kakak saya kedalam kamar. Dari dalam kamar saya mendengar suara teriakan meminta tolong namun tidak ada seorangpun yang berani masuk ke rumah kami. Kakak saya diperkosa tanpa perlawanan sedangkan saya yang mencoba menolong kakak saya dihadang oleh aparat yang berdiri di depan pintu kamar. Saya mengamuk dan satu hantaman gagang senjata di mulut saya membuatku tersungkur. Saya coba bangkit kembali. Saya tidak hirau dengan ancaman mereka.
Di kepala saya hanya ada pikiran ingin menyelamatkan kakak saya. Namun setelah kepala saya dihantam benda tumpul saya kemudian tidak tahu apa-apa lagi. Saya di seret keluar rumah lalu rumahku dibakar di hadapanku sendiri. hangus dan menyedihkan.
Dalam keadaaan tersungkur di tanah, saya melihat kobaran api menghanguskan rumahku. Badan saya remuk bahkan sudah tidak bisa lagi digerakkan. Saya hanya membayangkan kematian mungkin akan datang. Tapi sangat saya sesali karena tidak kunjung datang juga. Shit.
Tergambar dengan jelas bagaimana kebahagiaan keluargaku pernah. Ayah, ibu dan kakak, dan semuanya yang kami miliki. Saya kemudian membayangkan keadaan mereka. Orang sudah berkumpul di depan rumahku. Mereka menikmati kobaran api ini dan tidak satupun yang berniat membantu saya. Sampai saya merasa ada yang menarik tubuh saya. Saya tidak bis alagi mengenalinya. Mata saya sayu dan berharap mungkin lebih baik tubuh saya dijebloskan kedalam api tersebut. Namun ternyata tangan itu mengangkat saya dan membawa saya ke halaman belakang. Di kandang kuda saya baru sadar jika dia adalah Arini. Perempuan yang saya kenal di kantor ayah. Dia membawaku dan mengamanankan tubuhku yang bukan tubuh lagi. Malam itu kami berdua tidur di kandang kuda.
Tempat rumah saya memang masih hutan. Di belakang rumah saya adalah pekarangan yang sangat luas. Tumbuh menjalar pohon-pohon dan tumbuhan bambu liar. Kami berdua akhirnya terselamatkan dari kobaran emosi orang-orang yang berteriak “anti PKI”, “ganyang PKI”.
Arini juga berkisan tentang rumahnya yang dibakar oleh aparat. Rumah Arini memang agak jauh dari rumah saya tapi menurut informasinya, malam itu Ayah saya bersembunyi di rumahnya dan barulah keesokan subuhnya Ayahku pergi dengan beberapa temannya ke suatu tempat yang entah dimana, termasuk Ayah Arini. Ayah sayalah yang menganjurkan jika terjadi sesuatu, Arini ke rumah saya saja.
Setelah beberapa hari dan keadaan saya sudah membaik, saya coba ketetangga untuk meminta makanan namun tidak ada satu rumahpun dan seisinya yang menerima kami. Hanya hinaan dan cacian yang kami terima. Akhirnya tidak ada jalan lain, saya akhirnya kembali ke kandang kuda dan membawa buku ayah pergi serta satu-satunya makhluk bernyawa yang saya miliki, Kuda jantan Australia bernama djagal.
Sejak saat itu saya sering di teriaki anak komunis. Teriakan yang akhirnya mengganggu nalar saya. Saya memuji ketangguhan jiwa Arini, anak perempuan inilah yang akhirnya selalu menyelamatkan jiwa saya dari kegilaan.
Dengan sangat menyesal, saya harus menganggap keluargaku sudah meninggal, semuanya. Satu-satunya tempat yang aman buat kami berdua adalah berjalan terus dengan mengandalkan tenaga yang masih tersisa. Saya juga masih berpikir, pengorbanan macam apa ini. Disaat yang sangat genting, seorang perempuan datang menyelamatkanku dan sekarang saya harus berpikir tentang kehidupan kami selanjutnya.
Kapal penyebrangan. Saya akhirnya menjual kuda kesayangan Ayah dan memutuskan untuk pindah ke kota Makassar. Kota kelahiran Ayah saya.

***
Makassar, Tahun 1973
Saya akhirnya hidup damai di Makassar. Di usia yang baru 18 tahun, saya dinikahkan dengan Arini, perempuan setia yang menemani masa-masa sulit dalam hidup saya. Di kota ini juga saya akhirnya mendengar dari cerita orang-orang yang perihal perlakuan para tentara dan warga terhadap mereka yang dituduh sebagai antek komunis.
Sulit rasanya menerima kenyataan, saya tidak kuat membayangkan bagaimana wajah teduh ibu dan kakak perempuan saya harus diperlakukan seperti binantang. Saya hanya berdoa semoga mereka masih hidup, terserah mereka telah diapakan oleh para tentara itu. Dari cerita orang-orang, semenjak itu saya membenci Soeharto yang ternyata dalang dari semua kekacauan yang merebut kebahagiaan masa kecil saya.

Sampai saat sekarang, saya selalu bertanya-tanya dalam hati, memangnya apa yang telah orang-orang yang di tuduh komunis itu lakukan? Terlebih lagi Ayah, Ibu, dan Kakak perempuan saya? – 

Postingan Terpopuler

Postingan Terbaru