29 January 2013

Suatu Paruh Hari Yang Tak Akan Kembali Lagi

Terik sinar matahari itu, tak mungkin hadir lagi.
Corak aspal yang tergenangi bias matahari itu, tak mungkin tercipta lagi.
Hembusan angin itu, tak mungkin menerpanya lagi.
Tangis yang tak membuatnya malu itu, sulit untuk hadir lagi.
Tawa yang riang itu, sulit untuk menggema di telinga semesta lagi.
Kaki-kaki mungil itu tak mungkin menginjak raut wajah sang bumi lagi.
Bahagia lalu itu tak akan hinggap dalam dirinya lagi. 
Ada anak kecil yang masih tak mengerti bahagia, apa kenangan, kekejaman kenyataan dan kepingan-kepingan kesedihan yang sedang berjalan menujunya, kelak, untuk merangkainya menjadi seseorang. Ia hanya mengerti akan tawa jika dibelikan robot dan akan tangis jika tak dibelikan es krim..
Suatu hari, suatu waktu, suatu jam, suatu detik, ia bermain bersama teman-temannya, terik matahari memenuhi beberapa bagian kulitnya yang tak terlindungi baju mungilnya, tak peduli akan hitam yang hinggap di kulitnya jika terlalu lama berlindung di genggaman jemari cahaya matahari. Hembusan angin siang tak sedikitpun menghempaskan debu-debu semangatnya, aspal kering yang tergenangi oleh terik matahari tak cukup untuk menghentikan lembut derap langkah kaki kecilnya yang tak beralaskan sendal mungil.. Sore datang bersama senja yang berjalan di belakangnya. Untuk permainan terakhir kalinya sebelum ia akan kembali pulang karna matahari akan terbenam, ia memutuskan untuk bermain lomba kejar-kejaran bersama teman-temannya, siapa yang berdiri di atas batu yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat berdirinya, dialah pemenangnya. Di tengah-tengah lomba kejar-kejarannya ia terjatuh, lututnya mencium aspal, tak ada luka, namun tangis tercipta, ia begitu mudah untuk menangis. Ia menangis memegangi lututnya yang memerah, teman-temannya mencoba untuk menenangkannya untuk tidak menangis, isak tangisnya sedikit berhenti, ia kembali berdiri, ia merasa sudah bisa lari lagi, seketika ia langsung lari, menipu teman-temannya yang masih berhenti di sekitarnya tadi, teman-temannya sedikit jengkel karna ulahnya dengan berteriak “kamu curang”, ia tidak memperdulikan teriakan teman-temannya, ia tertawa sembari terus berlari, teman-temannya ikut tertawa karna merasa tertipu dan terus mengejarnya. Kembali, kaki-kaki mungilnya membawa ia berlarian diantara bias cahaya jingga senja, menginjak-injak raut wajah sang bumi. Hanyut dalam aliran arus tawa teman-temannya, gema tawanya terdengar hingga rongga telinga semesta, nada-nadanya tersimpan di antara rerimbunan pohon-pohon tua, yang suatu saat akan di perdengarkan kembali oleh angin kepadanya.. Berhenti, ia berdiri di atas batu yang tak lebih besar darinya, dari atas batu yang ia pijak itu, ia tertawa, ia menang, ia sampai di batu pertama kalinya..
Sejenak ia beristirahat, ia merasakan capek pada kedua kakinya, nafasnya sedikit terengah-engah.. Dari jauh terdengar gema dari suara teriakan sesosok malaikat, Ibu, ia memanggilnya, ia menyuruhnya untuk pulang, karna sebentar lagi gelap akan memeluk semesta. Dari jauh ia melihat ibu tersenyum, memandang senyum ibu adalah cara ia belajar menemukan sesuatu yang lebih penting. Ia berlari kecil, kembali menapaki jalanan yang penuh akan tawa beberapa menit lalu untuk menuju tempat dimana disana cinta selalu ada, rumah. Di depan rumah sudah menunggu pria paruh baya dengan sebatang rokok di  jemarinya, ayah, dia tersenyum melihatnya yang baru pulang dengan baju yang kotor.. Senyum itu, senyum ayah, senyum yang menutup paruh harinya dengan penuh kebahagian yang tak ia sadari..
Tak sadar ia telah meletakkan potongan-potongan kecil ingatan di laci kenangannya di hari itu..
Ia adalah Aku
Dengan mudah potongan-potongan kecil itu memenuhi kepalaku, kadang aku ingin kembali ke hari itu, untuk tertawa riang tanpa beban atau menangis tanpa harus malu..

clock, jam, jam dinding, waktu
By: @zackiid (http://sczac.tumbrl.com)

Postingan Terpopuler

Postingan Terbaru