14 August 2014

Surat Kedua Untuk Ayah

Bogor, 14 Agustus 2014


Ayah...
Malam ini aku menulis kembali surat untukmu. Surat yang aku tahu tak akan pernah kau baca. Tapi aku akan tetap menulis surat ini dengan sebuah pengharapan, semoga Tuhan menyampaikan semua yang aku tulis kepadamu.

Aku sedang tak ingin mengungkapkan tentang rasa rinduku padamu. Karena jika aku ungkapkan entah sedalam apa rasa rindu ini. Namun masih tetap kutitipkan kerinduan ini melalui doa-doa yang kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa melalui sujudku.

Ayah, saat ini aku hanya ingin teman bicara. Seseorang yang mungkin akan membantu melepaskan semua beban yang saat ini aku rasakan. Bukannya aku tak mau berbagi rasa dengan mereka yang ada di sekitarku. Hanya saja aku sangat berharap, orang yang paling akan mengerti dengan risauku saat ini adalah Ayah.

Satu kejadian telah terjadi di hidupku. Entah seperti apa aku harus menafsirkan kejadian ini. Mungkin ini adalah sebuah kesalahan, pelajaran atau mungkin teguran Tuhan.

Ayah, seperti inikah rasanya mengecewakan seseorang? Seperti inikah rasanya mematahkan kepercayaan yang diberikan orang lain kepada kita? Menyebalkan!!! Dan yang terburuk adalah sesungguhnya aku tidak berniat untuk melakukan hal itu. Namun entah mengapa tiba-tiba saja aku melakukannya. Seperti untuk sesaat aku telah kehilangan akal sehatku dan saat aku tersadar, yang ada di hadapanku adalah sebuah kekacauan.

Jika kau tanya apakah aku menyesal telah melakukan kesalahan itu, tentu saja aku akan berkata, "Iya! Aku menyesal." Aku bukanlah manusia tanpa hati yang tidak punya rasa bersalah. Bahkan andai aku boleh meminta, aku ingin memutar kembali waktu dan berharap aku tidak melakukan kesalahan itu. Rasanya aku pergi saja ke dunia lain agar aku bisa terbebas dari rasa bersalah ini.

Kau selalu mengajariku untuk patuh pada semua aturan. Karena peraturan yang akan membuat hidup kita damai. Di mana pun kita berada kita harus mematuhi peraturan yang ada di dalamnya. Aku selalu ingat itu. Meski terkadang aku berpikir sebuah peraturan akan memaksa kita untuk berjalan di titik yang aman untuk selamanya. Dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai muncul satu persatu di kepalaku. Apakah kita hidup di dunia untuk selalu memuaskan orang lain? Apakah aku harus mematuhi peraturan yang ada di sekitarku, hanya untuk memenuhi idealisme seseorang?

Seandainya saat ini kau ada di sini, satu-satu hal yang aku inginkan hanyalah kata-kata yang akan menenangkanku, "Anakku, tidak apa-apa jika kali ini kau membuat kesalahan. Kau hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Namun, jadikan ini pelajaran dalam hidupmu. Jangan pernah kau buat ini lagi di masa yang akan datang. Mengikuti peraturan memang terkadang tidak menyenangkan. Namun kau harus ingat, di mana kaki dipijak di sana langit dijunjung. Mungkin nanti ada saat di mana kau tak harus terikat dengan sebuah peraturan. Dan kau bisa memilih dunia yang paling baik untuk dirimu." Jika aku mendengar kata-kata itu darimu, mungkin semua beban ini akan terlepas.

Ayah, aku tak mau menyesali kepergianmu yang begitu cepat. Meski kau tak lagi di sini. Surat ini akan kuanggap sebagai pengantar semua kata yang ingin kuungkap kepadamu. Dan akan kupastikan akal sehatku masih mengiringi setiap kata yang kutulis.

I love you
Forever and always...

@dyanasarko
http://dyanasarko.blogspot.com

Postingan Terpopuler

Postingan Terbaru